Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman Bersekolah di Indonesia

6 Juni 2017   00:33 Diperbarui: 6 Juni 2017   00:42 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini saya banyak membaca mengenai kehidupan bersekolah di Australia. Hal ini membuat saya iri. Saya merasa bersekolah di Indonesia berbeda 360 derajat dengan di Australia. Terus terang, selama bersekolah di Indonesia saya selalu belajar di sekolah—sekolah negeri favorit yang siswa-siswinya mampu lulus dengan NEM terbaik di kotanya. Dari SD, SMP, dan SMU sampai perguruan tinggi saya selalu bersekolah di sekolah-sekolah elit favorit yang saya tinggali. Saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di sekolah-sekolah tersebut dengan belajar keras dan mengikuti bimbingan belajar. Namun saya tidak merasakan kebahagiaan seperti halnya siswa-siswi di Australia.

Sejak SD kami selalu diajarkan berkompetisi untuk meraih rangking terbaik dan lulus kemudian memasuki sekolah-sekolah favoritnya lainnya.  Kami selalu dilatih dengan mengerjakan soal-soal matematika, IPA, IPS dan sebagainya. Kami juga dilatih menghapalkan pasal-pasal dan butir-butir P4. Kami tidak pernah diajarkan berpikir. Ternyata hal ini tidak berhenti hanya di bangku sekolah tetapi juga di bangku kuliah. Terlalu banyak yang harus kami hapal sampai kami melupakannya saat ujian berakhir.

Indonesia menerapkan sistem pendidikan dengan keras kepada anak didiknya. Guru dan dosen dibebani kurikulum yang sangat berat. Tugas menumpuk bagi para siswa dan mahasiswa. Ternyata bersekolah dan berkuliah di Indonesa tidak memberikan kebebasan kepada siswa dan mahasiswanya untuk mengembangkan pemikiran dan krativitas. Kami hanya dijadikan “pemamah biak” teori-teori yang sudah usang. Anda tahu sapi? Tahukah Anda bahwa sapi selalu mengunyah kembali makanan yang sudah ditelannya? Seperti itulah nasib siswa dan mahasiswa di Indonesia. Bahkan untuk tugas menulis makalah dan artikel ilmiah sekalipun kami tidak dapat mengembangkan idealisme, imajinasi, kreativitas, dan pemikiran kami. Pikiran kami hanya bagaimana mencari nilai-nilai setinggi-tingginya. Kami belajar untuk meraih nilai atau IPK tinggi sehingga demikian kami dapat mencari pekerjaan sesuai dengan ilmu kami.

Sistem pendidikan di atas benar-benar membuat kami kehabisan nafas. Sekolah dan kampus bukan lagi tempat yang menyenangkan buat kami. Kami hanya menjadi obyek bukan subyek dalam proses belajar dan mengajar. Kami hanya menjadi penonton pasif dalam proses pendidikan. Sementara itu, guru dan dosen tidak pernah menggembirakan kami, kecuali dengan lelucon-leluconnya.

Sistem pendidikan seperti ini menjadikan kami seperti beo, pandai menghapal dan melafalkan. Bahkan pendidikan agama yang seharusnya menciptakan manusia-manusia berakhlak juga harus dilafalkan. Sistem pendidikan di negeri ini menjadikan kami manusia-manusia penurut dan takut kepada atasan, bukan manusia sempurna yang bebas mengekspresikan jiwa dan hati kami. Kami terkungkung dan tidak lagi harus ke mana. Pendidikan adalah komoditas, barang jualan. Pendidikan di negeri ini amat jauh dari cita-cita ideal pemikir pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara, Jean Piaget, dan sebagainya. Sekolah dan kampus yang semestinya kami sukai berubah menjadi penjara yang mengukung kebebasan.

Kami iri dengan siswa-siswi dan mahasiswa di negeri seberang yang bebas berpendapat asalkan bertanggungjawab. Mereka bersekolah dengan gembira.

Ini ironi bagi saya dan kawan-kawan lainnya yang pernah mengenyam pendidikan di Republik Indonesia tercinta. Kami tahu Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan jajaran di bawahnya amat mencintai kami. Mereka ingin pendidikan di negeri maju. Hanya saja caranya itu lho. Mbok ya yang kreatif.

Sekian curhat kami. Sebuah renungan di bulan Ramadhan tahun ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun