Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buku dan Krisis Dunia Islam

25 Juni 2017   23:16 Diperbarui: 12 Juli 2017   18:35 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Buku melambangkan peradaban. Hampir tidak ada peradaban tanpa buku. Peradaban Mesir kuno pun digerakkan oleh buku-buku yang ditulis para pendeta dan cendekiawannya. Konon, Fir'aun mempunyai perpustakaan yang berisi perkamen yang sangat banyak jumlahnya. Peradaban Yunani Kuno yang terkenal dengan para filsufnya juga menuliskan sejarah dan pemikiraan tokoh-tokoh besar mereka dalam buku-buku yang tak terhitung banyaknya.

Peradaban China kuno mempunyai khazanah yang tak kalah luasnya. Pada masa dahulu masyarakat China menggunakan lembaran-lembaran bambu untuk menyimpan kekayaan sastra dan budayanya. Sampai Tsai Lun membuat kertas yang terbuat dari kulit pohon murbei. Penemuan kertas menandai sebuah revolusi di dunia ilmu pengetahuan. Peradaban Islam kemudian mencuri teknologi pembuatan kertas ini dan mengembangkannya di dunia Islam dan Eropa.

Apa arti buku bagi peradaban Islam kini? Ketika kita membicarakan peradaban Islam, jangan terjebak hanya pembicaraan di masa lampau, tetapi juga di masa kini. Peradaban Islam belum mati, hanya mati suri. Peradaban Islam masih menunggu saat yang tepat untuk bangkit. Di sini buku memegang peranan yang penting. Buku mendokumentasikan sejarah pergerakan umat Islam dari masa ke masa. Buku mewariskan pengetahuan dan kearifan yang tak kan ada habis-habisnya dari segala masa.

Buku jelas artefak yang penting dari peradaban Islam. Ketika kita berbicara mengenai peninggalan peradaban Islam yang penting, kita mungkin membicarakan masjid-masjid kuno, istana-istana seperti istana Topkapi dan Al-Hambra, rumah sakit, pemandian umum, sampai perpustakaan. Perpustakaan? Mungkin kita sudah lupa dengan hal ini. Perpustakaan di dunia Islam mengalami pasang surut.  Pada masa dahulu para khalifah mendirikan banyak perpustakaan seperti Baitul Hikmah di Baghdad, Darul Ilmi di Kairo yang didirikan oleh para khalifah Fathimiyah (1005 M) yang mempunyai dua juta buku,  perpustakaan di Tripoli yang mempunyai lima juta judul buku dan perpustakaan Umayyah di Kordoba. Perpustakaan-perpustakaan ini tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan buku, tetapi juga lembaga penelitian ilmiah. Setiap perpustakaan dilengkapi dengan laboratorium, observatorium, tempat menulis dan berdiskusi. Perpustakaan-perpustakaan tersebut dihias dengan sangat mewah. Menjadi sarjana pada masa kejayaan peradaban Islam merupakan kedudukan dan status sosial yang tinggi.

Kini perpustakaan-perpustakaan tersebut telah musnah. Baitul Hikmah dihancurkan tentara Mongol pada abad pertengahan. Buku-buku Islam dibuang ke sungai Tigris hingga airnya menghitam. Etos ilmiah di dunia Islam kemudian meredup akibat munculnya fanatisme (ta'ashub) dalam beragama dan aliran teologi yang tidak menghargai kemerdekaan akal. Memang masih ada beberapa perpustakaan di dunia Islam seperti yang didirikan di Arab Saudi namun etos ilmiah di dunia Islam belum bersinar kembali akibat kondisi politik yang tidak memungkinkan.

Namun buku-buku klasik Islam tetap abadi. Buku-buku tersebut masih ada dan menerangi pemikiran umat. Islam dimulai dari sebuah buku suci, Al-Qur'an yang daripadanya muncul buku-buku lain.  Tuhan sendiri di dalam al-Qur'an mewartakan kehadiran dan kata-kata-Nya dalam kitab suci itu. Pada mulanya Tuhan menciptakan akal dan daripaadanya muncul sejumlah buku dan kemudian perpustakaan.

Buku dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang 'ilm (ilmu) yang sering diterjemahkan sebagai pengetahuan. 'Ilm merupakan kata ketiga yang sering disebut al-Qur'an selain Allah dan Rabb. Ini artinya Tuhan juga dapat dicapai dengan pengetahuan. Menurut Ziauddin Sardar, bagi umat Islam klasik, Islam sinonim dengan 'ilm, dan tanpanya sebuah peradaban Islam tidak akan terbayangkan.

'Ilm berarti lebih dari sekadar pengetahuan. Di dalam terkandung gagasan tentang komunikasi. 'Ilm tidak bisa menjadi monopoli kelas, kelompok, atau jenis kelamin tertentu. Ia harus bisa diakses secara bebas oleh semua anggota masyarakat. Jadi, komunikasi pengetahuan, gagasan, dan informasi dalam segenap aktivitas manusia merupakan bagian integral dari konsep 'ilm. Ia merupakan upaya mencari pengetahuan dan menyebarkan serta mentransmisikannya. Ia juga merupakan data, informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang berkelindan menjadi satu. Dengan kata lain, 'ilm merupakan tenaga penggerak utama budaya Islam.  (Ziauddin Sardar, "Kertas, Percetakan, "Compac Disc": Penciptaan dan Penggusuran Budaya Islam" dalam Kembali ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi Pemecahan Masalah, Serambi, 2010).

Lebih lanjut, Sardar menulis, "Pena" yang disebut Tuhan sebagai cara-Nya mengajar manusia memantapkan gagasan tentang komunikasi. Ia bukan saja simbol bagi keterampilan menulis, tapi juga simbol penyampaian ilmu dengan berbagai sarana teknologi. Pena sebagai simbol komunikasi  -merupakan alat guna memenuhi  seruan Al-Qur'an kepada komunitas muslim untuk "membaca".

Penelitian dan penemuan dinilai penting dalam rangka membaca --meminjam istilah Al-Qur'an- "ayat-ayat" (tanda-tanda) kebesaran Tuhan", dan kemampuan berkomunikasi serta menyampaikan pikiran, pengalaman, dan pemahaman, dengan alat tulis, dari generasi ke generasi, dan dari satu lingkungan budaya ke lingkungan budaya lainnya, dipandang sangat penting jika setiap manusia ingin memetik manfaat dari akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan.

Ayat-ayat pertama Al-Qur'an (Surah al-Alaq 1-5) telah meletakkan fondasi bagi sebuah budaya dan masyarakat di atas budaya membaca dan menulis, penelitian dan seni tulis, serta penyampaian dan penyebaran pengetahuan dan informasi. Setiap masyarakat yang tidak memperlihatkan karakteristik-karakteristik tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat menjunjung cita-cita Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun