Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bukan KPK, tetapi DPR-lah yang Seharusnya Diawasi

16 September 2019   11:39 Diperbarui: 16 September 2019   11:48 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rakyat Indonesia sedang berkabung. Maling berpestapora. Itulah gambaran negeri kita saat ini, ketika akhirnya KPK disepakkan ke tepi jurang.  KPK belum sepenuhnya jatuh ke dasar jurang, tetapi tangannya masih menggapai-gapai berusaha mencari pertolongan supaya dia tidak jatuh dan tewas. Dan hanya Presiden Jokowi yang punya kuasa untuk mengulurkan tangannya guna menarik kembali KPK dari kehancuran yang sudah di depan mata itu.

Tragis juga nasib bangsa ini. Dua ratus lima puluh juta lebih rakyat bisa dikalahkan oleh segelintir politikus bermental maling yang ambisinya hanya meraup uang rakyat, memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompok mereka. 

Korupsi adalah musuh masyarakat dan negara, karena hanya membuat rakyat sengsara. Tidak heran jika hampir seluruh pemerintah negara-negara di dunia ini selalu punya agenda memberantas korupsi dengan caranya masing-masing, termasuk dengan membentuk wadah/lembaga pemberantas korupsi, semacam KPK yang kita punya saat ini. Tapi banyak yang akhirnya bubar, antara lain karena perpolitikan yang masih dikuasai para maling. Kondisi yang agaknya sama dengan di negeri kita saat ini.

Kita sempat bangga dan menaruh harapan pada Jokowi yang kita percaya sebagai sosok bersih dan sangat anti-korupsi. Tetapi ternyata beliau tidak berdaya menghadapi para politikus yang sejak dulu memang ingin membunuh KPK, sejak "dilahirkan" oleh Presiden Megawati. Politikus cap tikus selalu punya ide dan cara untuk melemahkan KPK ini, sekalipun belum pernah berhasil. Tapi serangan demi serangan yang dilancarkan politikus busuk itu sukses mengkriminalisasi pimpinan KPK, seperti Antasari Azhar dan Abraham Samad. Agus Rahardjo sepertinya "aman" tetapi tidak demikian dengan lembaga yang dia pimpin. Agus dkk., lebih memilih untuk mengembalikan mandat KPK ke Jokowi, karena sudah pesimis bahwa presiden dapat meredam ambisi politikus.

Taktik yang dipakai politikus saat ini adalah "revisi UU KPK" dengan dalih untuk menguatkan KPK. Ada beberapa pasal yang menurut mereka bertujuan menguatkan KPK. Tapi politikus mencoba menipu ratusan juta rakyat secara mentah-mentah. Ribuan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidikan, bukanlah orang-orang bodoh, dan mereka paham betul, revisi UU KPK itu tujuannya melemahkan upaya pemberantasan korupsi, bukan memperkuat seperti klaim para politikus itu. 

Bahkan termasuk Jokowi sendiri pasti tahu, bahwa revisi itu "asli" melemahkan KPK, tetapi entah apa yang membuat dirinya linglung. Sementara hanya dialah satu-satunya harapan untuk menghentikan ambisi politikus korup itu. Dan semua elemen masyarakat sudah menyeru Jokowi supaya tidak menyetujui revisi UU KPK. Nama-nama yang bisa dipercaya semacam Ibu Shinta Nuriyah Wahid, Syafii Maarif, Romo Magnis-Suseno, dll., sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi supaya tidak meladeni kemauan para politikus itu. 

Tapi setelah Jokowi menyetujui UU KPK direvisi, praktis lembaga ini sudah sekarat. Tepat sekali aspirasi ratusan pegawai KPK yang dibentangkan lewat tulisan di spanduk: "KPK dilahirkan Megawati, mati di tangan Jokowi". Ironis, lembaga anti-korupsi meninggal di era presiden "anti-korupsi". 

Tidak perlu otak jenius untuk dapat memahami akal bulus politikus yang ingin mengebiri KPK. Salah satu pasal yang paling krusial adalah usulan politikus tentang perlunya dewan pengawas yang berwenang memberikan  ijin kepada KPK untuk melakukan penyadapan. Padahal KPK itu sendiri adalah lembaga independen yang tidak harus bergantung pada pihak lain dalam menjalankan tugasnya. Kalau KPK harus meminta izin dulu ke dewan pengawas untuk melakukan penyadapan, jelas ini menjadi kontra-produktif. Bisa saja, ketika izin belum diberikan, malingnya sudah buru-buru berbenah dan menghilangkan barang bukti lebih dulu. Apalagi kalau dewan pengawas ini juga segolongan dengan para politikus. 

Kecurigaan seperti  ini amat-sangat beralasan mengingat kualitas dan integritas oknum politikus yang ngotot "merevisi UU KPK" ini rata-rata sangat diragukan. Sebab ada banyak hal yang mestinya lebih bermanfaat bagi rakyat untuk diperjuangkan atau dibahas, kenapa justru revisi UU KPK yang dipaksakan supaya selesai sebelum DPR periode ini habis masa kerjanya? Yang jelas, sejak adanya KPK, sudah ratusan politikus Senayan dan daerah yang dipenjarakan karena korupsi. Maka dari itu, yang dibutuhkan rakyat saat ini sebenarnya adalah Dewan Pengawas DPR.

DPR harus diawasi terutama menyangkut kinerja, dan kehadiran. Banyaknya kursi kosong dalam rapat-rapat atau sidang DPR, menjadi bukti bahwa banyak dari mereka yang tidak berkualitas. Rakyat prihatin mendengar cerita tentang daftar hadir yang penuh tanda tangan, tetapi ruangan rapat kosong-melompong. Keajaiban seperti ini harus segara diakhiri. Dan hal-hal seperti ini perlu mendapat pengawasan, termasuk memantau anggota-anggota yang hanya 6D: datang duduk diam dengar dengkur duit. 

Anggota parlemen itu harus fasih "parle" atau berbicara. Tetapi bukan asal bicara, tetapi bicara untuk menyampaikan gagasan dan beradu argumentasi secara ilmiah menyangkut kesejahteraan rakyat banyak. Kalau cuma ngoceh saja, tukang obat di pinggir jalan juga sangat memikat didengar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun