Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Reformata Sed Semper Reformanda

13 Juli 2017   00:44 Diperbarui: 14 Juli 2017   03:41 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagaimana penduduk Eldorado berdoa kepada Tuhan?
Kami tidak berdoa kepada Tuhan,  
sebab kami tidak memiliki apa pun untuk diminta.  
Tuhan sudah memberi semua yang kami butuhkan. --(Voltaire, Candide).

Judul tulisan berbahasa Latin di atas paling kurang berarti, "Berubah namun selalu harus diubah". Simetris dengan apa yang diungkapkan oleh Voltaire dalam karyanya bertajuk "Candide", orientasi utama tulisan ini yakni menempatkan institusi agama pada adanya variasi kemungkinan untuk bersikap cerdas terutama dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan zaman. Sebagaimana yang dikemukakan oleh banyak pembaca Voltaire, inti ungkapan Voltaire tersebut yakni ia mengkritik kehidupan kaum beragama pada zaman itu dengan mengajukan perbandingan bahwa orang Eldorado yang tidak pernah berdoa itu justru mengagungkan Tuhan seagung-agungnya. 

Atau dengan kata lain, kehidupan pemeluk agama dewasa ini, alih-alih rajin berdoa dan melaksanakan kebaktian namun pada saat yang sama menjauhkan diri dari panggilan yang lebih luhur dan mulia yakni kemanusiaan. Apa gunanya beragama jika karenanya menjauhkan manusia dari kehidupan konkret di dunia nyata. Berdoa, atas cara tertentu, tidak hanya sekadar mengangkat kepala ke langit, namun sesekali perlu menunduk untuk melihat dan menilai kualitas diri dalam relasi dengan sesama dan segala ciptaan lain di dunia.

Tulisan ini tidak bertendensi menyalahkan semua pemeluk agama di dunia. Lebih dari itu, poin utama yang menjadi kegelisahan awal saya menulis yakni di mana-mana saya menemukan betapa sistem kelembagaan agama cenderung menjauhkan pemeluknya dari keterlibatan sosial kemanusiaan. Ambil contoh, untuk menggalang sikap toleransi antaragama, tidak akan pernah cukup hanya dengan mengadakan seminar atau diskusi bertaraf nasional (atau label apa pun, dapat anda tambahkan sesuka hati) dengan menghadirkan pembicara dari pemuka masing-masing agama. Usai pertemuan bergengsi itu, lalu dirumuskan rekomendasi rupa-rupa dengan eksekusi atau implementasi yang absen. 

Menariknya, sejauh pengamatan saya, semua itu dibuat dalam kesan yang amat sangat formalistis. Padahal, semua kita paham betul, dialog antaragama hanya akan terwujud jika masing-masing pemeluk agama tinggal bersama, merasakan apa yang orang lain rasakan, dan berbicara dalam bahasa hati, bukan bahasa inteletual dan dogmatis. Masyarakat dengan pemahaman yang masih sederhana tentu akan kesulitan mengerti misalnya apa itu konsep "Trinitas" jika dalam keseharian hidup, para pemeluk agama kristen sama sekali tidak menunjukkan aplikasi dari dogma ruwet semacam itu. 

Ketika dunia didominasi oleh mobilitas sosial (orang-orang sibuk bergerak) yang mengakibatkan anonimitas (orang-orang tidak saling mengenal), memastikan kedaulatan identitas beragama merupakan sebuah keharusan. Dikatakan sebagai keharusan karena hanya dengan demikianlah manusia senantiasa mempunyai dasar yang kokoh untuk terus bergerak maju. Bukankah dahan melebar sejauh akar mendalam? Agama akan menjadi sebuah institusi yang sia-sia jika pemutlakan lembaga justru menghilangkan spiritualitas masing-masing pemeluknya.

Menurut filsuf Yunani, Herakleitos, segala sesuatu sifatnya selalu berubah karena tidak ada hal yang bersifat tetap atau statis. Dengan kata lain, satu-satunya hal yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Nah, dalam konteks tersebut, sejauh mana agama-agama modern mempertahankan identitasnya di hadapan tuntutan perubahan zaman semacam itu?

Roland Barthes menulis, "Hasil budaya di masa lalu, seperti dewa dan kisah legenda, kini sudah digantikan oleh iklan sabun cuci dan karakter komik". Kesannya agak parodi namun jika direnungkan secara lebih mendalam, ada nada getir dan pesimis dalam pernyataan seperti itu. Saya katakan getir karena pada saat itulah yang suci tidak lagi menggetarkan. Karena telah menjadi kebiasaan yang diulang terus menerus, boleh jadi, aktivitas keagamaan malah kehilangan kesakralannya dan menjadi sebatas ritualisme. Pada saat itulah, pemeluk agama tertentu mengidap semacam kegamangan spritual dan berupaya mencari model baru dalam beragama. 

Untuk mengatasi hal semacam ini, perlu dipikirkan kembali bagaimana semestinya orang menghayati kehidupan beragamanya masing-masing. Bukankah dahan melebar sejauh akar mendalam?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun