Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kewisek

10 Juli 2017   02:38 Diperbarui: 10 Juli 2017   03:53 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Si sakit masih terbaring di ranjang beralaskan tikar yang lanjut. Kewisek, pemuda berumur 30-an tahun itu mengidap penyakit aneh. Tak ada gejala-gejala ganjil pada fisik menandakan bahwa ia sedang sakit. Misalnya, suhu tubuhnya panas. Luka bekas cedera. Atau pun pembengkakan pada bagian tubuh lainnya. "Kata dokter RSUD Larantuka, hasil rontgen menunjukkan bahwa Kewisek sehat," terang ibunya terbata-bata sambil menyeka tetesan air mata yang pasrah meleleh di pipinya. Sekali lagi, dipandanginya putera tunggalnya itu dengan hati hancur. Perlahan, bunyi derit pintu ditutup. Menghalangi perjalanan mata wanita tua itu dari ritus penyembuhan dalam Lango Belen.

Di luar, tangis ibu-ibu pecah ketika hujan tumpah. Tak sebanding dengan peluh yang mengucur deras di sekujur tubuh Molang, si Mata Lusi. Semedi penyembuhan kali ini adalah sebuah ziarah abadi. Dan ia tak ingin diusik oleh siapa pun. Ketika mulutnya mengunyah beberapa buah sirih dan pinang, rasanya seperti melumat takdir dengan gelisah tiada ujung. Ritus awal penyembuhan bagi Kewisek sepertinya akan gagal. Matanya tak sanggup membaca lebih banyak dari biasanya. Apakah para dewa telah mencabut kekuatannya? Mengapa tiba-tiba ia berpikir demikian saat di mana ia perlu konsentrasi? Akhirnya, rasa sesak mengganjal di balik dadanya yang renta. Tetapi apakah itu, ia pun tak tahu. Dibukanya kelopak mata yang sedari tadi terpejam. Guratan wajahnya menyiratkan hal yang begitu ganjil. Rumit. Sirih pinang yang dikunyahnya kini semerah darah. Keyakinannya pun kembali: Ia telah tahu, ini darah punya siapa.

**********

Kelahiran Kewisek merupakan mukjizat terbesar dalam keluarga ini. Bagaimana tidak, Rina, wanita yang lanjut usia itu sudah tentu mustahil melahirkan anak lagi. Ditambah lagi berkurangnya perhatian dari Goleng, suaminya, membuat penderitaannya semakin lengkap. Di masyarakat, perempuan itu dijuluki mandul sementara di dalam keluarganya ia disebut sebagai pembawa sial.

"Dasar perempuan pendosa. Hanya memberikanku seorang anak saja susah," bentak suaminya sepulang dari Cekdam.

Omelan serupa selalu ia santap ketika melakukan kesalahan kecil secara tak sengaja. Menghadapi semuanya itu, rasanya kesengsaraan hidup memang tak pernah sebanding dengan harapan akan sebuah surga. Ia masih ingat. Ketika senja gilang gemilang di ufuk barat, perempuan itu melangkah meninggalkan rumah.

"Goleng masih di desa tetangga dan lusa pula kembalinya." Sesungging senyum perlahan tercipta di bibirnya ketika otaknya mencerna sebuah rencana baru.

"Yah...aku harus ke Lewo Okin. Mungkin di sana para leluhur akan mendengar keluh kesahku," batinnya dalam hati dengan bahagia meletup-letup.

Di bawah terang purnama, perempuan itu berlutut sambil menangis. Memohon pada kewokot agar segera dikaruniai seorang anak. Berjam-jam lamanya wanita itu berdoa lewat tangisnya yang keras kepala. Lamat-lamat suaranya mereda karena letih. Tumpukan jerami yang terbakar seakan bercokol dalam jantungnya. Tatapannya berkunang-kunang. Samar-samar. Tak jelas apa yang ditangkap kedua matanya. Seperti sosok seorang pria bermandikan cahaya berjalan pelan mendekatinya. Memapahnya menuju sebuah nuba nara. Melumuri bibirnya dengan ciuman kekal, tak tercekal. Kesadarannya masih bekerja ketika kewatek, pembungkus tubuhnya perlahan terlepas dan sepasang jemari yang lembut membelenggu payudaranya.

Ketika jago berkokok dan fajar bertengger sejenak di ufuk timur, perempuan itu terjaga. Sekujur tubuhnya terasa lapang. Hanya sedikit sisa nyeri di antara kedua pahanya. Dilemparkannya tatapan ke segala arah. Memastikan mungkin saja ada orang di tempat itu. Sejauh mata memandang, tak seorang pun yang ia jumpai selain berderet kubur para leluhur.

"Siapakah yang mendatangiku semalam? Ah.. mungkin karena kelelahan, aku pun tertidur dan selanjutnya bermimpi," desisnya dalam hati sambil berjalan pulang. Satu hal yang membahagiakannya adalah kini ia merasa begitu bebas. Tanpa kesedihan. Tanpa air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun