Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Ragu Menjadi Imam

18 September 2017   19:12 Diperbarui: 18 September 2017   19:24 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Pentingnya Keraguan dalam Beriman)

Musuh iman bukanlah keraguan

melainkan pemberangusan keraguan. (John Davies)

Usai menjalani masa praktik atau lebih dikenal dengan sebutan "Tahun Orientasi Pastoral" (TOP), para frater memasuki masa probanis. Itulah masa di mana calon imam atau biarawan Katolik mempersiapkan diri sebelum mengikrarkan kaul kekal. Persiapan itu meliputi banyak faktor diantaranya kesiapan batin untu menerima atau menghadapi konsekuensi dari keputusan tersebut. Dalam situasi seperti itu, sangat manusiawi sekali jika terdapat keraguan dalam diri mengenai komitmen yang sudah dan yang akan ditetapkan. Di sini, keraguan adalah kata kunci. Bukankah kita tidak pernah tahu apakah kita sungguh melakukan hal yang benar ketika kita membuat keputusan-keputusan tersebut?

Pada umumnya, keraguan dalam kondisi di atas muncul karena dilatari oleh beberapa faktor antara lain: keraguan alamiah sebelum membuat keputusan, ragu karena terdapat terlalu banyak pertimbangan, ragu menentukan prioritas tentang apa yang paling penting, ragu dengan ketetapan yang sudah dibuat sebelumnya karena menemukan bahwa apa yang dialami dalam masa praktik sungguh berbeda dengan ideal yang dibayangkan selama ia di biara, dan seterusnya. Terhadap keraguan seperti itulah, seorang frater sebenarnya sedang berteologi. Imannya, atas cara tertentu, berupaya mencari pemahaman.

Keraguan Merupakan Bagian dari Iman

Mengerti status keraguan seseorang berarti membuka diri bagi kebenaran yang selalu tak rampung dipahami. Teolog Swiss, Hans Kung dalam "On Being a Christian", menulis, "Sebuah kebenaran yang mendalam, bagiku secara lahiriah tidak menentu, terancam oleh aneka keraguan, yang mengandaikan suatu komitmen sangat intens dari pihakku, dapat memiliki nilai kognitif yang jauh lebih tinggi daripada suatu kebenaran dangkalyang pasti---atau bahkan yang "niscaya pasti". 

Itu sama dengan yang ditulis oleh teolog besar Jerman dari abad ke-20, Paul Tillich dalam sebuah buku klasik tentang iman, membuat suatu tindakan iman niscayamencakup keraguan karena melibatkan seluruh pribadi dalam satu pilihan eksistensial. Ini bukan keraguan permanen seperti dalam ilmu pasti, bukan juga keraguan yang mengarah pada skeptisisme. Keraguan jenis ini dipahami lebih sebagai sebuah upaya pencarian terus menerus, penundaan akan ketergesaan membuat keputusan, menerima yang tentatif, dan tidak mudah percaya pada sesuatu yang sudah mapan.

Syukurlah, hal menggembirakan dari tahapan formasi calon imam SVD di Ledalero adalah bahwa terdapat struktur pendidikan yang bagus. Dikatakan bagus karena untuk menjadi imam, seorang frater mesti mempelajari filsafat dan sebelum mendalami teologi, ia mesti menjalankan masa TOP.

Pertama, kuliah filsafat. Metafisika, epistemologi, logika, dan seterusnya merupakan disiplin ilmu yang "berbahaya" jika tidak didalami secara bijak. Saya katakan "berbahaya" karena hal yang diutamakan di dalamnya adalah mencari dan menemukan pendasaran yang sahih dan valid. Apa pun yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, ditolak atau diacuhkan. Konsekuensinya jelas, tidak ada hal di luar pemahaman. Itu biasa disebut dengan rasionalisme. Dengan kata lain, seorang rasionalis adalah dia yang berpendapat bahwa "melalui akal budi biasa" manusia "sanggup mencapai bahkan pengetahuan tentang kebenaran teologis dan spiritual".

Kedua, masa TOP. Usai mengenyam pendidikan filsafat, seorang frater melanjutkan jenjang formasi dengan menjalankan Tahun Orientasi Pastoral. Menariknya, di samping anjuran dari teman dan para formator, frater itu sendirilah yang mengajukan lamaran mengenai ke tempat mana ia ingin menjalankan TOP. Dengan menjalankan praktik itu, seorang frater diharapkan mampu menerapkan apa-apa yang sudah ia peroleh semasa kuliah. Di hadapan peluang untuk mengadakan dialog profetis, mengentaskan kemiskinan, memberdayakan umat, dan berbagai jenis kegiatan pastoral, seorang frater hendaknya menyadari posisinya sebagai calon imam sekaligus sarjana filsafat. Di situ, ia mesti menyadari kegamangan semisal: Apakah ia mesti bersikap kritis ketika menyaksikan penguasa yang belaku tidak adil terhadap masyarakat ataukah ia memilih diam hanya karena tidak ingin merusak hubungan baik yang sudah terjalin antara penguasa tersebut dan gereja lokal? Dalam pergumulan dengan fenomena yang dijumpainya itulah, seorang frater akhirnya memperteguh dan/atau sebaliknya meragukan komitmennya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun