Mohon tunggu...
Hanif Vidi
Hanif Vidi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Analis Kebijakan

Komunitas Studi Politik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alasan Mengapa Kebijakan Mobil Murah Pantas Digugat

23 September 2013   17:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:30 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah pemerintahan sudah sewajarnya menjadi perumus kebijakan bagi kemakmuran masyarakat. Namun bagaimana jika sebuah kebijakan yang digulirkan justru menimbulkan kesan kontraproduktif? Baru-baru ini pemerintah merilis kebijakan terkait mobil murah. Pro kontra dari masyarakat pun berdatangan. Sedikit yang setuju namun banyak yang mengecam, namun kenapa masih digulirkan? Ini yang justru menimbulkan perdebatan menarik. Kebijakan mobil murah yang dikeluarkan pemerintah pusat, menimbulkan berbagai spekulasi yang harus dibaca secara secara intelektual. Pertama, apa dasar pemerintah mengeluarkan kebijakan mobil murah? Tak jelas. Salah satu alasan pemerintah adalah karena kepemilikan mobil adalah salah satu indikator kemakmuran masyarakat. Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat menjelaskan secara alamiah memang kepemilikan mobil akan terus meningkat di Indonesia, karena hal ini merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Bagaimana bisa seorang menteri bisa berbicara sedemikian rupa. Sejak kapan kepemilikan mobil menjadi indikator kemakmuran rakyat sementara angka kemiskinan di negeri ini masih melambung jauh? Di tengah kondisi ekonomi yang masih timpang, kebijakan mobil murah seakan menambah beban berat negara ini. Kondisi ekonomi dunia yang tengah mengalami masa krisis, posisi rupiah yang yang sangat lemah terhadap dollar, langkanya berbagai kebutuhan pokok seperti daging, kedelai dan bawang adalah indikator bahwa rakyat Indonesia masih jauh dari kata makmur. Berikut alasan mengapa kebijakan mobil murah tidak perlu digulirkan.

Tak Semua Masyarakat Mampu Beli Mobil

Apakah semua rakyat Indonesia mampu membeli mobil? Tidak. Berapa pendapatan perkapita kita? Berdasarkan laporan terbaru tahun 2013, Jumlah pendapatan per kapita Indonesia adalah US$4.000 per kapita per tahun pada saat ini. Cukupkah? Tidak. Itu belum dihitung masih tingginya angka pengangguran dan jumlah UMR yang masih rendah. Jangankan membeli mobil, untuk mencukupi kebutuhan hidup saja banyak masyarakat Indonesia yang masih belum mampu. Belum dihadapkan dengan naiknya harga BBM yang juga menaikkan semua harga bahan kebutuhan pokok. Meskipun “ dimurahkan ” sedemikian rupa, harga mobil tetaplah tidak seperti harga ponsel yang bisa diakali sedemikian rupa. Sehingga pernyataan MS Hidayat yang menjadikan kepemilikan mobil sebagai indikator kemakmuran sangatlah tidak berkorelasi. Alangkah lebih baiknya jika pemerintah lebih bijak dalam menelurkan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kredit untuk UKM, pengkategorian pendapatan tenaga terdidik dengan tenaga tak terdidik mengacu pada UMK di masing-masing daerah, penguatan sektor industri dalam negeri sehingga meningkatkan produksi ekspor dan penstabilan nilai tukar mata uang rupiah lebih utama dibandingkan kebijakan mobil murah.

Kebutuhan Pangan adalah Problem Rakyat Terkini

Mobil bukanlah bahan kebutuhan pokok bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia lebih butuh makan ! Seorang filsuf dan ahli perang terkenal Cina, Sun Tzu saja pernah berkata jika “Kemakmuran dan keberhasilan sebuah negara dapat dilihat dari sejauh mana pemimpinnya mampu mencukupi kebutuhan perut rakyatnya”. Sebuah pemahaman yang pernah dipakai oleh salah satu pemimpin kita, Soeharto yang mengedepankan aspek pangan dibanding segalanya. Memang pada jaman Soeharto dikenal pemerintahan yang otoriter dan korup, namun mengapa banyak rakyat kecil justru sampai saat ini masih banyak yang mengelu-elukan kepemerintahannya? Karena bagi rakyat asal kebutuhan pangan tercukupi itu sudah cukup. Harga sembako mahal, harga kedelai melambung tinggi seingga menimbulkan kelangkaan tempe dan tahu di berbagai tempat. Bagaimana rakyat bisa hidup sejahtera jika makanan berkategori kebawah seperti tempe dan tahu yang lazim dikonsumsi oleh masyarakat bawah saja langka? Apa mereka harus beralih makanan ke daging yang notabene harganya juga malah melambung jauh? Lantas untuk apa kebijakan mobil murah? Apakah bisa dimakan dan membuat perut masyarakat menjadi kenyang? Tidak.

Transportasi Massal Jauh Lebih Baik Ketimbang Mobil Pribadi

Gubernur DKI Joko Widodo atau Jokowi menulis surat kepada Wapres dan menyatakan tidak setuju dengan program pengadaan mobil murah tersebut. Menurut Jokowi, kebijakan mobil murah itu hanya akan membuat jalan-jalan di kota besar yang sudah macet seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya akan menjadi lebih macet lagi. Sangat bisa dipahami mengingat kebijakan mobil murah justru akan malah menimbulkan persoalan baru kemacetan di kota-kota besar.Merendahkan harga mobiljustru akan merangsang daya beli masyarakat yang mampu untuk membeli mobil lebih banyak lagi. Kebijakan ini justru malah menguntungkan masyarakat di level menengah atas yang memang dilengkapi kemampuan daya beli yang baik. Namun yang menjadi persoalan adalah justru masyarakat di level ini memiliki pola konsumerisme yang tidak dilatarbelakangi kebutuhan tepat guna, melainkan motif gaya hidup, hedonisme, persoalan status dan eksistensi. Tengok saja kasus kecelakaan baru-baru ini yang melibatkan sejumlah anak dibawah umur yang bebas mengendarai mobil mewah di jalan raya. Belum bergulir kebijakan mobil murah saja, pola konsumerisme masyarakat di level ini sudah memberikan dampak yang kurang bagus, bayangkan bagaimana seandainya jika banyak mobil murah bertebaran dimana-mana? Berapa banyak lagi kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan?

Solusi yang paling tepat sebenarnya bagi pembenahan sektor transportasi dan perhubungan di kota-kota besar adalah memperbanyak moda transportasi massal. Lahan yang semakin sempit dan jumlah kendaraan yang semakin banyak adalah penyebab utamanya. Membangun jalan layang, jalan tol ataupun jalan tembusan saja dirasa banyak pihak kurang efektif mengingat perbandingan antara jumlah lahan dengan kuantitas kendaraan sangat berbanding terbalik. Apalagi dengan dengan kebijakan mobil murah yang justru malah akan meningkatkan kuantitas daripada kendaraan pribadi itu sendiri. Jikalau jalanan sudah penuh sesak, lantas mau dilewatkan mana lagi mobil-mobil itu? Apa mau digendong? . Apalagi kalau sudah banyak mobil pribadi, bagaimana cara mengatasi kelangkaan BBM? Apa mau diisi air? .

Membangun atau memperbanyak moda transportasi massal adalah jalan utama sebagai solusi pengurai masalah lalu lintas di kota-kota besar, contohnya: trem, kereta api, komuter, atau MRT. Selain bisa menampung banyak orang, maka otomatis penggunaan moda transportasi massal akan mengurangi pemakaian mobil pribadi, pun sekaligus mereduksi kelangkaan BBM. Memudahkan setiap warga membeli mobil sama artinya mendorong konsumsi BBM ke level yang tidak terbatas. Kendati disebut-sebut sangat irit bahan bakar, tetap saja mobil tersebut bakal menambah konsumsi BBM karena ada pembelian kendaraan baru. Pembangunan transportasi publik yang aman, nyaman, dan murah harus lebih diutamakan daripada mendorong setiap warga untuk memiliki mobil. Just smart please !

Pemerintah Pusat Tak Mau Tahu Masalah Kemacetan

Mendukung kebijakan pemerintah pusat di daerah memang menjadi salah satu tugas pemerintah daerah. Namun menggulirkan sebuah kebijakan baru dan menyerahkan persoalan yang akan muncul dari kebijakan itu ke pemerintah daerah adalah bentuk arogansi sebuah implementasi kebijakan dari pemerintah. Kemenperin sebelumnya telah menegaskan jika kebijakan mobil murah adalah solusi peningkatan di sektor perindustrian ke depan dan menyerahkan persoalan kemacetan kepada pemerintah daerah. Senada dengan Kemenperin, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie mengatakan, sebaiknya tidak dikaitkan antara memajukan industri otomotif oleh pemerintah pusat dan kemacetan di kota-kota besar. Menurut Marzuki, mengatasi kemacetan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pantaskan ucapan itu diucapkan oleh seorang pimpinan wakil rakyat? Sebuah statemen yang tidak poluler mengingat posisi beliau sebagai wakil rakyat, terutama karena Dapilnya Jakarta, yang seharusnya juga ikut memikirkan kepentingan rakyat. Menyerahkan persoalan kemacetan sepenuhnya begitu saja kepada pemerintah daerah sangatlah tidak patut karena sebagai wakil rakyat dia juga harusnya ikut mengkritisi kebijakan yang digulirkan pemerintah jika dirasa kurang solutif. Apa karena beliau dari partai pemerintah? Entahlah. Pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan begitu saja, kemudian lepas tangan mengenai akibat dari kebijakan itu ke depannya. Sama saja pemerintah hanya terkesan mencari muka diakhir pemerintahannya. Kalau begitu kesannya nanti pemerintah untung, masyarakat buntung.

Kebijakan Syarat Kepentingan untuk Pemilu 2014

Kebijakan mobil murah yang dipaksakan pemerintah pusat dan ditolak sejumlah kepala daerah menimbulkan kecurigaan. Bisa saja kebijakan tersebut dijadikan mesin ATM untuk pengumpulan dana parpol besar menjelang pemilu 2014. Memang ada kecenderungan bahwa setiap menjelang pemilu biasanya ada saja kebijakan yang dipaksakan berjalan untuk mengumpulkan dana. Salah satunya adalah kebijakan bailout Bank Century, yang diduga untuk mengumpulkan dana pemilu 2009 bagi parpol tertentu. Sebagai rakyat, kita harus khawatir kebijakan tersebut hanya untuk menguntungkan parpol tertentu secara finansial sehingga jelas merugikan kepentingan rakyat. Tujuannya untuk kemakmuran rakyat kok malah merugikan. Kebijakan yang terkesan dadakan tersebut memunculkan spekulasi, pemerintah “bermain mata” dengan perusahaan otomotif yang memproduksi mobil murah tersebut. Sebuah kebijakan lazimnya mengeluarkan uang, bukan memperoleh uang. Sebenarnya, kalau pemerintah memang ingin menelurkan kebijakan yang produktif, cukup sederhana aja, menyelesaikan harga kebutuhan bahan pokok yang melambung serta kedelai yang langka bisa menjadi pintu gerbang kebijakan lain yang akan direspon positif bagi masyarakat. Mengapa? Karena masalah pangan seperti apa yang dijelaskan di awal merupakan masalah sang membutuhkan prioritas penanganan daripada kebijakan di sektor yang bahkan belum tentu diketahui keberhasilannya kedepan. Kebijakan dipelupuk mata harus lebih di utamakan daripada mer-reka-reka kebijakan si seberang jalan. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun