Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meretas Lanskap Hak Asasi Manusia

3 Juni 2017   05:49 Diperbarui: 3 Juni 2017   08:49 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“it is necessary to examined, in a detailed way. The Contemporary theory of evil, the ideology of human rights, the concept of democracy. it’s necessary to show that nothing there leads in the direction  of the real emancipation of humanity. it is necessary to reconstruct rights. in everyday of life as in a politics. of the truth and of the good. Our ability to once again have real ideas and real projects depends on it”

 –Alan Badiou

Pernyataan tersebut, penulis kira patut untuk dijadikan alasan serta landasan filosofis awal untuk mengupas dan mendorong kita lebih dalam mengenai persoalan apa yang disebut sebagai evolusi perihal persoalan hak asasi manusia khususnya di Indonesia. Berangkat dari argumentasi itu, berikut pada bagian selanjutnya akan dipaparkan secara sistematis sejarah dan soal mengenai hak asasi manusia sehingga menjadi studi yang sekiranya dapat dikategorikan sebagai tinjauan cukup serius terhadap upaya bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri untuk melakukan pembacaan mendalam beserta dengan konstelasi ciamiknya.

Evolusi Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pada mulanya, dapat kita lacak bibit-bibit yang membicarakan kebebasan serta hak asasi manusia didalam  suatu periode yang telah lampau yakni sebelum kemerdekaan Indonesia.  Dari banyak sumbangsih pemikiran dan perbincangan tercatat karya-karya seperti ‘’habis gelap terbitlah terang” yang ditulis oleh R.A Kartini, kemudian karya-karya politik yang ditulis oeh H.O.S Cokroaminoto,Agus Salim,Douwes Dekker,Soewardi Suryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ‘’Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul “Indonesia Merdeka”yang dibacakan didepan pengadilan Hindia-Belanda. Percikan-percikan tersebut bermuara dalam sebuah rumusan konstitusional yang berbuah dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia. Tak selesai disitu, perdebatan wacana mengenai Hak Asasi Manusia lebih menemukan titik diskursif yang lebih matang pada awal perdebatanya pasca terbentuknya BPUPKI.  Malahan, menemukan hal yang menarik pada tahun-tahun berikutnya pula yakni di era sidang Konstituante (1957-1959) walaupun pada akhirnya mengalami kemunduran pasca dikeluarkanya dekrit 5 Juli 1959 Oleh Soekarno. Serta mengalami dinamika,pada titik yang nampak buruk bagi hak asasi manusia di tingkat konstitusi maupun di tingkat praktik ialah menemukan ‘kedunguan’ atau kondisi yang sangat mencerminkan penolakan dari apapun yang bersifat kebebasan yakni di era totalitarianism rezim Soeharto dengan pencorengan terhadap hak asasi manusia oleh ABRI dan Karya Pembangunan di Tingkat konstitusional serta pembunuhan hak-hak mengeluarkan pendapat dengan adanya tuduhan subversif bagi kelompok atau individu yang merongrong pada Rezimentasi 32 tahun Orde Baru beserta peninggalan warisanya, sehingga bagi aktivisme yang menyuarakan hak asasi manusia serta kebebasan dianggap mengancam keamanan negara, serta perlu dilenyapkan oleh penembak-penembak misterius utusan Soeharto. Dan, pada 1998 peristiwa terhadap penggulingan rezim tersebut menyemai kembali babak baru dari Hak-Asasi Manusia di Indonesia.

Mengapa mesti berbicara Hak Politik di Indonesia?

Sedikit kita tinjau perdebatan dan perbincangan mengenai ada atau tidaknya budaya politik demokratis di Indonesia yang telah menjadi konstelasi sejak lama. Bebagai pendapat yang diperoleh dari hasil pengamatan maupun penelitian yang masih terbatas mungkin membuat kesimpulan yang berbeda. Setidaknya, ada dua pandangan berbeda yang dapat digeneralisasi.Pertama,budaya politik demokratis tidak memiliki akar dalam budaya lokal masyarakat. Kedua, nilai-niai demokrasi-dengan berbagai varianya-telah tumbuh sejak lama di Indonesia seiring dengan dinamika budaya lokal masyarakat. Kedua pandangan itu mencoba menawarkan hasil temuan maupun pengamatanya masing-masing.

Pendapat yang mencoba menawarkan bahwa dalam budaya asli masyarakat Indonesia demokrasi bukan merupakan sesuatu yang asing mengacu pada tradisi musyawarah-mufakat. Tradisi ini, dengan segala variannya, mengandung nilai-nilai demokrasi. Politik musyawarah-mufakat (asas kerakyatan) di sejumlah daerah di Indonesia telah berlangsung sejak berabad-abad sejak masyarakat hidup dalam sistem perkauman di zaman purba, yang terus berlanjut di zaman-zaman kerajaan hingga saat ini. seperti kehidupan masyarakat pedesaan Tradisi yang hidup dalam masyarakat agraris, yang disebut juga dengan tradisi berembug itu, bahkan sudah terlembagakan dalam bentuk unik seperti kerapatan nagari,rembug desa,musyawarah subak,dan forum-forum musawarah masyarakat di desa atauun daerah lainnya. Praktik demokrasi lainnya adalah tradisi pepe atau penyampaian pendapat (protes) yang dilakukan rakyat terhadap penguasa melalui aksi diam. Ini adalah atikulasi demokrasi rakyat terhadap kekuasaan. Tradisi ini juga telah melembaga dalam kehidupan masyarakat tradisional masa lalu.

Sedangkan pedapat yang menyatakan bahwa budaya politik demokrasi tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia biasanya mengacu pada sejumlah karakteristik budaya di sejumlah daerah tertentu yang dianggap bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi, seperti masih kuatnya budaya feodalisme dan primordialisme (suku,agama,ras dan pengelompokan sosial lainyya yang dianut secara emosional). Budaya yang tidak kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi itu telah mengakar sejak dahulu dan masih bertahan hingga kini. Gejalanya dapat dilihat terutama dalam interaki antara rakyat dan penguasa atau antara bawahan dengan atasan, baik pada lembaga birokrasi tradisional, maupun modern di semua level!

 Budaya ini dianggap sebagai warisan masa lalu yang telah berkembang sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang kemudian dipupuk dan dilestarikan oleh penguasa colonial demi mempertahankan penjajahan. Bahkan, budaya ini masih berlanjut dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang.

Dengan demikian, berdasarkan dua pandangan itu, tidaklah dapat disimpulkaan secara ekstrim bahwa budaya politik demokratis sama sekali tidak memiliki akar sosio-kultural dalam masyarakat Indonesia dan atau sebaliknya nilai-nilai hak politik demokratis telah hidup dan berkembang dalam budaya lokal masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Kesimpulan yang paling mendekati adalah bahwa budaya politik demokratis dan budaya yang tidak kondusif bagi demokrasi sama-sama dapat ditemukan di tengah-tengah budaya lokal masyarakat Indonesia secara variatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun