Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasih Tidak Mentoleransi Kesalahan

5 Februari 2019   11:58 Diperbarui: 5 Februari 2019   12:34 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : www.duniabelajaranak.id

"Saya tidak pernah pukul anak, Pak."

"Sudah, ngajar biasa aja, Pak. Ngapain pusing marahi. Toh anak orang lain juga."

Saya kadang-kadang geleng-geleng kepala mendengar berbagai komentar seperti di atas, salah dua di antara bejibun alasan kenapa ada pembiaran pada anak waktu anak berbuat kesalahan.

Sebagai guru, tentu saja saya senang kalau anak didik itu sopan, rajin, berkelakuan baik. Kalau mendapat anak didik yang kurang ajar, ribut, tentu saja serasa kepala mau berasap ^_^.

Kalau dulu, saya termasuk guru killer ^_^. Namun setelah jam terbang sudah semakin wow (sekedar informasi, saya sudah mengajar sejak tahun1998. Selama 20 tahun, sudah mengajar di berbagai sekolah dasar dan kursus bahasa Inggris), saya jadi bisa mengontrol emosi dan menempatkan diri saya untuk bersikap tenang waktu menghadapi 'anak-anak bermasalah' tadi.

Saya sudah banyak menemui orangtua atau wali murid karena putra-putri mereka nakal di kelas, atau sering bolos, atau tidak mengerjakan tugas kesekian kalinya, atau karena alasan lain.

Dan saya menemukan, kebanyakan orangtua menyerahkan pendidikan itu ke sekolah. Malah ada yang mengatakan, "Saya sudah angkat tangan untuk mendidik anak saya. Saya sayang sama dia. Saya sudah nasehati, bahkan sudah saya marahi, tapi dia tetap aja begitu. Bapak aja yang didik di sekolah."

Walah ^_^.

Saya trenyuh, miris mendengar orangtua yang beralasan 'tak berdaya' seperti ini. Tuhan sudah berbaik hati memberikan momongan, keturunan di saat pasangan suami-istri lain tak mampu mendapatkan, eeh di saat mendidik, mereka lepas tangan ^_^.

Tapi yang lebih menjengkelkan kalau orangtua dengan titel berderet layaknya kereta api, tapi menyerahkan pendidikan anak ke sekolah (emangnya cuma anaknya saja yang dididik. Kan banyak muridnya. Emangnya dia siapa? Presiden ^_^?) dan pembantu di rumah. Tak heran, anaknya mirip kelakuan pembantu yang mungkin SD saja tidak lulus. Sudah begitu, sang ortu masih bilang heran kenapa kok anaknya bertingkah laku aneh, bahkan sampai mau bunuh diri segala ^_^!

Saya pernah menemui kasus semacam ini. Saya harapkan Anda semua yang membaca tulisan saya ini tidak seperti ortu dengan titel berderet barusan ^_^.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun