Mohon tunggu...
Laode Halaidin
Laode Halaidin Mohon Tunggu... BLOGGER -

Menulislah, karena itulah keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meluruskan Makna Demokrasi

19 Mei 2017   11:03 Diperbarui: 19 Mei 2017   11:25 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Pixabay.com

Pergeseran makna demokrasi dalam politik akhir-akhir ini sangat terasa. Sejak pilpres tahun 2014 silam, hingga pilkada beberapa bulan yang lalu, demokrasi sepertinya dimaknai hanyalah sebuah “pesta”. Melalui kata-kata, ucapan, informasi serta tulisan-tulisan di media sosial atau televisi banyak kita temukan—demokrasi dimaknai dalam arti sempit—pesta pemungutan suara dibilik pemilihan. Pergeseran makna ini kemudian mempengaruhi partai politik dan mesin politiknya bahwa pertarungan politik hanya mencari suara rakyat sebanyak-banyaknya.

Dalam pandangan Coen Husain Pontoh, pada tahap ini yang mengemuka adalah demokrasi prosedural yang kemudian merubah makna dari pemerintahan rakyat (government of the people) menjadi pemerintahan para politisi (government of the politicians). Rakyat melakukan pemilihan, namun bukan lagi memilih karena program tetapi memilih karena figur—popularitas elit. Sementara itu, partai dan mesin politiknya disibukan dengan menjual program, melakukan marketing politik yang seringkali tak dipahami oleh warga.

Dari situ, Coen Husain Pontoh menyimpulkan bahwa demokrasi yang demikian dapat memberikan fakta, bahwa elit seperti itu berwatak oligarkis. Pertarungan elit hanya untuk merebut kekuasaan semata, bukan dalam kerangka untuk dapat memberdayakan masyarakat kecil. Dalam konteks ini, makna demokrasi tersandera oleh kepentingan elit yang kemudian berusaha membelokan makna demokrasi itu sendiri. Demokrasi bagi mereka bukan lagi berarti kekuasaan, kehendak rakyat, tetapi kekuasaan elit—para oligarkis itu sendiri.

Tetapi, tak bisa dipungkiri, didalam demokrasi semua elit maupun pemilih terbagi dalam kelompok-kelompok atau sekat-sekat. Masing-masing kelompok itu mempunyai atau mempertaruhkan apa yang menjadi keinginan dan kepentingannya.

Josep A. Schumpeter dalam bukunya mengenai Kapitalisme, Sosialisme dan Demokrasi tampaknya dapat menganalisa hal tersebut. Schumpeter mengatakan, dalam demokrasi politik seringakli muncul dalam berbagai macam kelompok-kelompok dan semua itu merupakan sifat alamia manusia dalam politik. Mereka merupakan kelompok yang teridiri dari politikus profesional atau eksponen dari suatu kepentingan ekonomi, para idealis atau sekedar kelompok masyarakat yang tertarik dalam pementasan serta pengelolaan pertunjukan politik.

Mereka kelompok-kelompok itu, menurut Schumpeter, umumnya mempunyai keinginan untuk menjadi apa, dan didalam batas-batas yang sangat luas mereka mampu untuk menciptakan kehendak rakyat. Pada titik ini, partai dan mesin politiknya seringkali mencoba membombardir rakyat dengan memproduksi berbagai keinginan—apa yang menjadi keinginan rakyatnya. Mereka mengklaim mampu untuk mewujdukan keinginan rakyat itu, meskipun hanya sekedar tutur kata seperti para penjual obat—manis tapi seringkali tak berefek. Dengan demikian, Schumpeter mengemukakan, jika demikian adanya, maka apa yang menjadi kehendak rakyat hanyalah produk dan bukan kekuatan motif dari proses politik.

Namun di dalam demokrasi, segala perbedaan-perbedaan keinginan itu dikehendaki. Keberagaman merupakan sesuatu yang universal untuk dapat menjaga sebuah keutuhan bangsa. Perbedaan keinginan itu perlu ada. Tetapi bukan kemudian perbedaan itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik diri sendiri dan kelompok. Segala perbedaan keinginan didalam demokrasi harus dikelola untuk kepentingan bersama bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan lainnya.

Inilah esensi dalam hidup berdemokrasi. Dan penyempitan makna demokrasi, bukan saja dapat membawa bangsa dalam sekat-sekat, permusuhan, tetapi terjadinya degradasi sosial yang kemudian berujung pada chaos kekuasaan. Ini semua tentu akan mengancam kedaulatan bangsa. Olehnya itu, perlu pedalaman makna demokrasi itu sendiri secara komprehensif, agar negara-bangsa berada pada tataran yang seimbang, damai.

Dalam tulisan Kristian Ginting di koran Suluh Indonesia dengan judul Demokrasi Mahal Menindas Rakyat, ia mengutip pendapat sejarawan profesor Ellen Meiksins Wood mengenai makna demokrasi. Bagi Wood, kita harus tau apa itu demokrasi sejati.

Mengutip tulisan Kristian Ginting, Wood mencoba memberikan arti apa itu demokrasi sejati. Dalam bahasa Yunani kuno demos adalah rakyat, penduduk—dan tidak hanya pengertian politik yang mengawang-ngawang, tetapi juga sebagai kategori sosial: orang-orang biasa atau bahkan orang-orang miskin. Sementara kratos berarti kekuatan, kekuasaan, pemerintahan.

Dalam hal ini, bagi Wood demokrasi tidak lebih tidak kurang adalah kekuasaan rakyat, bahkan kekuasaan dari rakyat biasa atau rakyat jelata. Atau kata Wood lagi, makna asli demokrasi sejati dapat disamakan dengan apa yang disebut dengan kekuasaan proletariat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun