Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Setelah Penertiban, ke Mana Para PKL Itu Menikmati Pagi?

16 Januari 2019   15:04 Diperbarui: 16 Januari 2019   19:42 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Megapolitan kompas

Pagi itu waktunya bersenang-senang. Periode sebelum siang yang sangar datang. Karenanya, kesibukan pagi model bagaimanapun, masih dianggap sebuah kesenangan.

Kalau kata Goenawan Mohamad di buku "Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali" yang merupakan kumpulan cuitan di akun Twitternya, "Berpagi-pagi dahulu, bersiang-siang kemudian, berbagi hati dahulu berbagi senang kemudian".

Ya, tiap kita punya cerita dalam mengisi pagi. Di luar sana, burung-burung sibuk berkicau. Para pedagang di pasar sibuk menata lapak dagangan lantas melayani pembeli. Dan bagi saya, pagi adalah waktunya "berbagi hati" mengantar anak-anak ke sekolah.

Perjalanan selama 15 menit hingga 20 menit dari rumah menuju sekolah, terkadang bak sebuah drama. Betapa ada banyak orang kehilangan kesabaran di perlintasan kereta api, orang-orang pengendara kendaraan yang tidak mau mengalah ketika ada anak-anak sekolah yang menyeberang jalan, hingga kemacetan di salah satu jembatan kecil yang saban hari saya lalui.

Jembatan tersebut luasnya kurang lebih 4-5 meter dengan panjang 10 meter-an. Diujungnya merupakan sebuah pasar yang menjajakan sayur-sayuran, ikan, ayam dan buah-buahan. Lapak pedagangnya berderet di sepanjang jalan selepas jembatan. 

Sebenarnya jembatan tersebut cukup lengang untuk jalur sepeda motor karena memang kendaraan roda empat dilarang masuk. Hanya saja, di tepi jembatan, berbaris para pedagang kaki lima yang menata barang dagangannya hingga memakan separo jalan. Mereka adalah para PKL yang tidak kebagian tempat di pasar tradisional sepajang jalan tersebut.

Belum lagi bila ada pembeli yang cuek saja memarkir kendaraannya di tepi jembatan yang kosong. Maka, jadilah jembatan itu bak sebuah "tes kesabaran" di pagi hari karena harus benar-benar sabar untuk melintasinya, bergantian dengan pengendara yang melintas berlawanan arah.

Namun, mulai awal pekan kemarin, melintas di jembatan tersebut jadi lengang. Awalnya saya tidak merasa ada yang aneh karena kebetulan anak saya masuk sekolah jam 09.30 pagi. Saya berpikir mungkin penjualnya tidak boleh berjualan sampai siang. Boleh jadi hanya dibatasi berjualan sampai jam 09.00 WIB.

Ternyata, di lain hari, ketika saya lewat di situ sebelum jam 7 pagi, jembatannya juga sudah lengang. Tidak ada penjual seperti biasanya. Pandangan saya lantas tertuju pada sebuah spanduk bertuliskan "Dilarang berjualan di sepanjang jembatan dan membuang sampah di sungai". Ternyata sudah ada larangan berjualan.

Spontan, pikiran saya tertuju pada nasib para PKL yang biasanya berjualan di lokasi tersebut. Ya, setelah tidak boleh berjualan (untuk mengganti kata diusir) dari tempat jualannya, ke mana mereka bisa mengais rezeki.

Memang, meski terkadang bikin kesal karena menjadi penyebab kemacetan, tetapi bila melihat bagaimana ikhtiar mereka berjualan sejak pagi dan juga beberapa si mbah yang berjualan di situ, muncul rasa belas kasihan. Terlebih bila mereka tidak lagi mendapatkan tempat untuk berjualan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun