Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

MOS, Warisan Kolonial Belanda yang Dipertahankan

3 Agustus 2015   13:33 Diperbarui: 3 Agustus 2015   13:38 3837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi tahunan MOS di sekolah-sekolah baru saja usai. Sebelum MOS dilaksanakan, memang sudah ada wanti-wanti dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan agar kegiatan MOS ini tidak diwarnai dengan kekerasan fisik maupun verbal, bahkan pada pada hari H-nya, menteri Anies Baswedan juga melakukan sidak pada beberapa sekolah. Sebelum saya mengupas serba singkat perkara MOS ini, izinkanlah saya membahas persoalan bahasa berkaitan dengan berita seorang siswa SMP bernama Evan Christoper Situmorang yang dikabarkan meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan MOS. Pada media daring Detikcom tertulis: [Saat MOS, Evan disuruh scott jump dan berjalan kaki dari Pondok Ungu Blok A ke Perumahan Puri]. Perhatikan pengejaan “scott jump” di atas. Mungkin Anda sudah mafhum apa yang dimaksudkan, yaitu “kegiatan olahraga di mana kita berjongkok lantas meloncat sambil meluruskan tubuh secara berulang-ulang”. Persoalannya, ejaan ini salah total, karena yang benar seharusnya adalah “squat jumps” (squat = jongkok, jump = loncat). Kebetulan, pagi ini saya sempat membaca berita serupa di koran Kompas, dan apa yang tertulis di situ semakin membuat saya tersenyum geli. Di situ tertulis [“Dia juga mendapat hukuman fisik berupa scout jump setiap kali berbuat kesalahan. Itu setiap hari,” kata Jose]. Ya ampun, di media satu dibilang “loncat Skotlandia” (scott jump), di media lain dibilang “loncat pramuka” (scout jump).

Namun, ada masalah yang lebih hakiki ketimbang salah eja ini. Praktik squat jump yang dahulu merupakan salah satu kegiatan olahraga militer wajib ini sudah lama dilarang dan dihapuskan, karena pertimbangan medis. Squat jump dapat menyebabkan cedera saraf tulang belakang yang sangat vital. Dapat Anda bayangkan sendiri, pada pendidikan militer saja squat jump sudah dilarang, ternyata pada MOS malah masih banyak diterapkan. Sekarang, saya ingin membahas pokok masalah sesuai judul di atas yaitu MOS.

Saya lulus SMA tahun 1970, dan pada saat memasuki Fakultas Kedokteran Gigi juga mengalami perpeloncoan ini. Ini memang salah satu warisan kolonial Belanda yang mati-matian kita pertahankan, padahal justru di negeri Belanda sendiri sejak 1965 sudah dihapuskan. Istilahnya berganti-ganti, mulai dari “perpeloncoan”, “penggojlokan”, “MAPRAM”, “MAPRAS”, “MOS” dan seterusnya, namun esensinya tak jauh berbeda, yaitu bullying yang direstui oleh sekolah. Yang lebih mengerikan, di zaman saya dulu, yang mengalami perpeloncoan hanyalah mereka yang memasuki perguruan tinggi. Sekarang, bahkan anak yang akan masuk SMP dan SMA pun harus menjalani tradisi perpeloncoan ini. Jadi alih-alih menghapuskan perpeloncoan, malahan dia diperluas cakupannya pada murid-murid SMP dan SMA. Dalam bahasa Belanda perpeloncoan disebut dengan “ontgroening” (dari kata groen yang maknanya ‘hijau’), sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan “hazing”.

Karena saya dari generasi kelahiran tahun 1950an, istilah “ontgroening” ini masih familiar di telinga saya. Saya ingin bercerita seingat memori saya, apa yang saya alami pada waktu menjalani masa perpeloncoan tahun 1971 itu. Setelah menjalani upacara pembukaan dengan seragam putih-putih yang rapi, maka dimulailah “masa neraka jahanam” ini. Para senior dengan gunting terhunus, membabat rambut kami secara membabi-buta. Jadi, kepala kami botak tak beraturan, persis seperti copet yang ditangkap polisi. Kemudian, kami diperintahkan untuk merayap sepanjang halaman kampus sampai keluar ke jalan. Di situ, ada selokan yang airnya berwarna hitam pekat, dan kami diperintahkan untuk mencopot sepatu, menggigitnya dengan mulut, lantas masuk ke dalam comberan sambil jalan jongkok. Setelah semuanya berendam jongkok di selokan hitam dan berbau itu, kami pun diperintahkan untuk baringan sambil disuruh membayangkan sedang berendam di bathtub hotel mewah. Setelah hari mulai gelap, teror perpeloncoan semakin menyeramkan. Kami, plonco laki-laki diperintahkan melepaskan semua pakaian, kecuali celana dalam. Mata kami ditutup (blindfolded), dan lampu di gedung kampus berlantai tiga itu dipadamkan. Selanjutnya, dengan berbaris beriringan, kami diperintahkan untuk kembali berjalan merayap sepanjang koridor dan terus menuruni tangga. Sementara kami tertatih-tatih merayap, punggung kami yang telanjang ditetesi dengan lilin yang menyala. Sesampainya di lantai bawah, kami diperintahkan membuka mulut untuk diberi minuman penyegar berupa campuran jamu brotowali plus minyak ikan (levertran). Banyak yang muntah-muntah, tapi barangsiapa yang memuntahkannya, maka akan diberi dobel dua sendok.

Hari-hari berikutnya, tak kalah horornya. Kami, setiap hari diharuskan sudah tiba di kampus pagi-pagi buta jam lima untuk melakukan lari pagi sekitar 5 kilometer. Penugasan setiap hari benar-benar membuat stres, misalnya disuruh membawa cacing tanah 3 ekor, membawa jangkrik, membawa sapu lidi, membawa kacang hijau mentah, membawa balon dan sebagainya. Seragam kami juga berubah, baju memakai rompi dari karung goni, plonco laki memakai rok, dan topi dari daun pandan. Plonco wanita (yang dinamai ‘plonci’) memakai pita berwarna-warni di rambutnya dan memakai makeup medok seperti banci. Senior-senior harus kita panggil dengan “raka” (lelaki) dan “rakanita” (wanita). Penugasan ini memang ada tujuannya, misalnya tugas membawa cacing tanah, untuk menguji nyali kita sembari mata ditutup dengan kain hitam, kita diperintahkan untuk membuka mulut lebar-lebar dan “cacing” itu dimasukkan ke dalam mulut. Kenyataannya memang bukan cacing yang dimasukkan ke dalam mulut kita, melainkan mie mentah, namun yang histeris menangis-nangis dari plonci-plonci banyak juga. Lantas, dengan lidi dan sebutir kacang hijau kita diperintahkan untuk “bermain golf”.

Mengilas balik masa perploncoan ini, saya mempunyai sebuah opini. Menurut saya, perploncoan ini sedari dahulu hingga masa kini lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Orang-orang tempo dulu mengatakan bahwa perpeloncoan ini merupakan tahap inisiasi untuk menjadi dewasa, dari “anak mami” menjadi “pribadi yang mandiri”. Tapi tujuan (objective) ini sudah lama melenceng dan sudah berubah menjadi ajang untuk melampiaskan balas dendam para senior. Jadi nilai edukatifnya nyaris nihil. Dia hanyalah merupakan warisan mindset (pola pikir) usang yang kita adopsi dari penjajah Belanda. Dan seperti saya tuliskan di atas, di negeri Belanda (dan juga di negara-negara lainnya) perpeloncoan ini sudah dihapuskan. Perpeloncoan di perguruan tinggi saja sudah tidak dibenarkan, apalagi di sekolah SMP dan SMA. Jadi, sesungguhnya kita perlu melakukan mental switch untuk sama sekali menghilangkan tradisi perpeloncoan ini dari institusi pendidikan. Tak perlu diganti nama dengan segala penghalusan (eufemisme), karena selama dia masih eksis, segala ekses buruk masih berkemungkinan terjadi. Seperti halnya, kematian yang secara langsung atau pun tak langsung terjadi setiap tahun akibat kekerasan fisik yang di luar pengawasan.

---

Ilustrasi: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun