Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jatuh Cinta Membabi Buta pada Menulis

22 Juli 2017   04:14 Diperbarui: 22 Juli 2017   09:16 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Untuk menjadi penulis yang baik harus belajar gramatika dengan baik dulu. Dan harus jeli dalam pengetikan sampai susunan kalimat.

--- Rohyati Sofjan dalam sebuah komentar di Fb, 31 Desember 2013 ---

Sebelumnya saya merasa perlu menyampaikan bahwa saya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis, apalagi "penulis yang baik"--sebagian kawan justru menilai saya sebagai "penulis yang tidak baik". Saya arsitek, yang pernah aktif di pers kampus UAJY sebagai tukang gambar (ilustrator), dan kartunis-karikaturis.

Sampai sekarang saya masih belajar menulis dengan baik, belajar tentang tata bahasa (gramatika), kata baku, ejaan yang disempurnakan, jeli dalam pengetikan, susunan kalimat, dan seterusnya. Saya pun masih sering melakukan kekeliruan, kurang sabar menata kata, dan lain-lain.

Saya belajar menulis secara otodidak alias tanpa guru atau pembimbing (mentor). Akibatnya, ya, saya mengalami kelambanan dalam penulisan gagasan, dan peningkatan kualitas. Tidak sedikit tulisan saya yang jauh dari kata sempurna.  

Tetapi saya bandel. Walaupun otodidak, saya berusaha keras untuk belajar menulis. Walaupun latar bakat di bidang menggambar, saya terus menyeret jemari saya untuk menulis. Saya tidak peduli apa kata orang mengenai isi dan mutu tulisan saya.

Saya telanjur jatuh cinta pada menulis ketika saya masih suntuk menggambar. Nah! Jatuh cinta yang membabi buta. Setiap hari saya berusaha untuk mencumbui kata-kata, baik membaca maupun menulis. Padahal saya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Ironis dan paradoks, 'kan?

Cinta saya pada menulis adalah cinta yang serius, meski sering bercanda dan sekilas iseng-iseng berhadiah sepeda tanpa menyebutkan nama-nama ikan. Oleh sebab serius itu, saya juga tekun mencari hal-hal yang berkaitan dengan kaidah penulisan yang berlaku.

Anggaplah menulis adalah kekasih saya. Kekasih saya itu sering mengingatkan, kalau benar-benar mencintainya maka saya harus mau mengikuti syarat-syarat, standar-standar, aturan-aturan, kaidah-kaidah, atau "permintaan"-nya. Misalnya, ya, seperti yang sempat saya singgung, mengenai tata bahasa, kata baku, ejaan yang disempurnakan, kalimat efektif, pleonasme, dan seterusnya.

Kata kekasih saya, "Sama seperti kamu dulu mencintai menggambar, semisalnya menggambar manusia, maka kamu pasti akan belajar mengenai anatomi manusia secara proporsional terlebih dulu." Ya, memang begitu.  

Lalu kekasih saya mengingatkan, kalau saya benar-benar mencintainya maka saya tidak boleh membuatnya malu di depan banyak orang hanya gara-gara hal paling sepele. Hal sepele? Ya, semisal penggunaan "di" sebagai awalan untuk kata kerja atau untuk kata keterangan. Contohnya "dipenjara" dan "di penjara".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun