Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buku Tulis Ajarkan Kita Menghormati Guru

21 Februari 2018   19:46 Diperbarui: 22 Februari 2018   15:58 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sudah lama tidak bersekolah atau menempuh pendidikan formal, apalagi kalau pendidikan formal itu berupa tulis-menulis. Ya, seperti kebanyakan orang, sekolah formal yang paling awal adalah Sekolah Dasar (SD). Dan, tentulah, benda yang wajib dibawa ke sekolah adalah buku tulis.

Saya masih hidup dalam zaman ketika saya menuliskan ini. Wajar, meski sudah kekinian (zaman now, istilah terkini) dengan buku elektrik--laptop/komputer jinjing atau notebook, toh buku tulis masih menjadi media penting bagi seorang murid, apalagi Indonesia.

Meski sudah tidak bersekolah formal lagi, buku tulis selalu menjadi bagian penting dalam hidup saya. Saya tidak peduli jika saya dianggap masih ketinggalan zaman (zaman old, istilah terkini). Saya hanya peduli pada diri saya menyiasati waktu tertentu, dan sebuah buku tulis selalu siap-sedia membantu saya dalam waktu tertentu itu.

Melalui tulis-menulis dan buku tulis, paling tidak, saya bisa berterima kasih kepada guru Bahasa Indonesia saya sewaktu SD, khususnya Kelas I dan Kelas II. Lebih 30 tahun silam. Bagaimana atau dengan apa saya bisa mengingat kedua guru saya itu?

Saya sangat mengingat kedua guru saya. Di Kelas I SD, guru Bahasa Indonesia kami adalah Ibu Sulian, orang Tionghoa-Bangka. Saya terlambat 2 minggu masuk sekolah awal karena saya menginap 2 minggu di rumah sakit (sakit kuning). Saya harus 'mengejar' ketertinggalan di antara kawan sekelas  yang sudah mulai bisa menulis, membaca, menghafal,dan sekitarnya. Mujurnya saya tidak tinggal kelas alias gagal naik ke Kelas II sesuai dengan waktu normal.

Sementara di Kelas II, guru Bahasa Indonesia kami adalah Ibu Mul, orang Melayu-Bangka. Ibu Mul mengajarkan perihal huruf kapital, suku kata, kata sambung, dan hal-hal mendasar lainnya. Ibu Mul, sepeti juga Ibu Sulian, tidak pernah bercanda ketika mengajar di kelas. Kami pun tidak berani ribut atau ngobrol sendiri dengan kawan sebangku, termasuk pada sesi "Pantun Jenaka" zaman "Ini Budi".

Mungkin sebagian orang menganggap wajar bahwa guru harus mengajar-mendidik para siswa-siswinya karena, jelas, dibayar, apalagi sekolah kami dulu adalah sekolah swasta. Tetapi sebagian orang yang "berhitung" semacam itu sering lupa bahwa guru, apalagi Ibu Sulian, harus memberi perhatian 'lebih' pada saya yang terlambat masuk sekolah. Kalau mau cepat berdasarkan "perhitungan materialistis", malah sewajarnya orangtua saya "membayar" lebih banyak agar cepat 'mengejar' ketertinggalan saya, 'kan?

Sampai akhirnya, lebih 30 tahun kemudian, bahkan ketika saya sama sekali tidak lagi mengenyam bangku pendidikan formal, saya cukup lancar dalam tulis-menulis begini. Bagaimana saya selalu bisa mengingat kedua guru saya?

Buku tulis! Benda satu ini selalu sanggup mengingatkan saya kepada guru Kelas I dan Kelas II saya dulu. Buku tulis selalu membuat saya tiada henti mengapresiasi jasa beliau-beliau. Terlebih, saya masih menggunakan buku tulis dalam tulis-menulis, selain komputer, baik meja (portable computer) atau jinjing (laptop).

Dalam situasi tertentu, buku tulis sangat saya andalkan. Situasi yang bagaimana, contohnya? Hujan dan halilintar. Saya tidak berani mengambil risiko fatal ketika menulis menggunakan komputer. Contohnya lagi, dalam suatu rapat, seminar, atau diskusi, baik ketika bekerja maupun kegiatan intelektual-kultural (budaya). Lainnya, atau terakhir saja, dan sangat situasional, yaitu di toilet alias membuang air besar di rumah. Ada yang terbuang ke luar tetapi ide yang datang mendadak harus saya catat.

Begitulah buku tulis menjadi benda yang tidak patut saya anggap ketinggalan zaman alias tidak up to date. Sebuah benda yang sederhana, yang sekian puluh tahun saya kenal, tetapi tetap berfungsi dengan sangat baik, bahkan mampu mengajarkan saya untuk menghormati para guru.  

*******

Panggung Renung -- Balikpapan, 21 Februari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun