Mohon tunggu...
guntursamra
guntursamra Mohon Tunggu... Buruh - Abdi Masyarakat

Lahir di Bulukumba Sulawesi Selatan. Isteri : Samra. Anak : Fuad, Afifah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kau dan Aku Suatu Hari Nanti

26 Juni 2019   23:01 Diperbarui: 26 Juni 2019   23:44 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pxhere.com

Di pantai ini, kita pernah terdampar jauh dihanyutkan gelombang kecurigaan. Dikelilingi arus kesangsian akan kebenaran retorika. Menyaksikan nelayan dan perahunya yang kebingungan mencari tempat melemparkan jangkar. 

Lalu, pada mataku yang kemerahan karena terlalu banyak meminum air garam engkau bertanya, "Sampai kapan ikan-ikan di laut itu belajar dari kesalahan pendahulunya, mengapa sampai hari ini masih saja selalu tergoda dengan umpan-umpan para nelayan. Mestinya, mereka tak boleh lagi dikuasai oleh nafsunya, bukankah karena itu, nenak moyangnya kini tinggal sejarah?

Aku yang kau tanya dengan serentetan keresahanmu, hanya mampu terdiam dalam keheranan. Kemudian kujawab tanyamu dengan tanya, "Mengapa harus sibuk memikirkan ikan-ikan itu, biarkan saja mereka yang selalu terjebak pada kesalahannya, bukankah mereka juga tidak pernah memikirkan kita yang telah terdampar jauh di pantai ini?

Setelah itu, dengan tatapan tak puas engkau kembali menatap mataku yang kemerahan ini. Kemudian kau alihkan pandanganmu ke nelayan dan perahunya yang masih saja sibuk mencari tempat melempar jangkarnya. Lalu, di tempatmu berdiri, di tepi pantai ini kau memandang gerombolan ikan-ikan yang telah terjebak pada umpan-umpan nelayan.

Dengan gelengan kepala, seakan ingin menghalau ketidakmengertian yang ada di benakmu kau terdiam. Dari sudut matamu kulihat gurat-gurat kekecewaan berteduh di sana. 

Seperti tersentak dari lamunan, kau bangkit menghimpun serpihan sadarmu. Sambil beringsut mendekatiku, bibirmu yang tadi sempat sepi kau dekatkan ke telingaku. Dengan suara yang masih kecewa, kau berkata : "Mungkin, aku dan kau yang tak pernah belajar dari kesalahan para pendahulu kita, selalu saja terjebak pada umpan-umpan retorika dan tak pernah bisa menolak nafsu akan rayuan nelayan-nelayan itu. Boleh jadi, nasib kita tak lebih sama dengan nenek moyang ikan-ikan itu, bahwa suatu hari nanti, kau dan aku tinggal sejarah.

Sinjai, 26 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun