Mohon tunggu...
Binsar Antoni  Hutabarat
Binsar Antoni Hutabarat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, penulis, editor

Doktor Penelitian dan Evaluasi pendidikan (PEP) dari UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA. Pemerhati Hak-hak Azasi manusia dan Pendidikan .Email gratias21@yahoo.com URL Profil https://www.kompasiana.com/gratias

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar Hanya Jadi Jargon Tanpa Kurikulum yang Memerdekakan

14 Maret 2020   09:35 Diperbarui: 14 Maret 2020   09:35 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

KURIKULUM PENDIDIKAN SEJATINYA BUKAN MEMENJARAKAN SISWA. KURIKULUM YANG UNGGUL BERTUJUAN MEMERDEKAKAN SISWA  BELAJAR, MENGEJAR MIMPI INDAH TENTANG MASA DEPAN.

Sebagai orang tua, kita kerap mendengar derita anak  yang dipaksa mencapai target tertentu untuk mata pelajaran yang tidak disukai.

Seorang teman saya berujar, "Anak saya tidak bisa naik kelas, kecuali jika nilai matematikanya memenuhi standar nilai yang ditentukan sekolah."Selanjutnya seperti bertanya dengan dirinya sendiri, dia kembali berceloteh, Anak saya itu memiliki bakat seni, segala hal yang terkait dengan seni, khususnya musik, prestasinya sangat menonjol. Tapi, kenapa hanya karena nilai matematika yang rendah dia harus tinggal kelas?"

Kita tentu paham, bahwa mata pelajaran yang dijadikan standar dalam sekolah di Indonesia saat ini mengacu pada mata pelajaran yang menjadi ukuran daya saing suatu bangsa. Kurikulum yang ditetapkan dinegeri ini bertujuan untuk mencapai tujuan itu, yakni bangsa yang tersohor dengan kemampuan matematika, fisika dll. Kurikulum jenis ini jelas memenjarakan anak-anak kita.

Persoalan memilih jurusan IPA, IPS,atau bahasa saja menjadi momok bagi anak-anak. Banyak orang tua bangga jika anaknya masuk jurusan IPA, padahal minat dan bakat anak itu di IPS atau Bahasa. Tetapi, demi gengsi orang tua, anak wajib masuk jurusan IPA. Bukankah ini fakta bahwa kurikulum pendidikan dinegeri ini menjadi penjara bagi anak-anak kita?

Kurikulum pendidikan sejatinya dipahami sebagai sebuah dokumen yang berisi rencana untuk anak-anak kita, yang jika diimplementasikan dengan tepat dapat menolong anak-anak kita mencapai  apa yang mereka cita-citakan.

Mengembangkan bakat dan talenta yang mereka punya, untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara, dan sesama. Tapi, bagaimana mungkin sebuah kurikulum itu memerdekakan anak-anak kita, jika dalam perumusan kurikulum itu sekolah tidak pernah melibatkan anak-anak itu. Sebagai target kurikulum mestinya anak-anak menjadi sentral dalam perumusan sebuah kurikulum.

Kurikulum bukan hanya berisi mimpi-mimpi indah negara, institusi pendidikan, orang tua, tetapi juga mimpi-mimpi indah anak-anak itu. Minat dan bakat anak-anak harus menjadi sumber penyusunan sebuah kurikulum.Dan lagi, keberhasilan menyusun sebuah kurikulum bukan hanya ditentukan adanya dokumen kurikulum dalam sebuah institusi pendidikan.

Kurikulum berisi tujuan, materi pelajaran, kegiatan belajar yang harus dilaksanakan, dan juga cara evaluasi untuk mengukur apakah tujuan dari kurikulum itu telah tercapai. Untuk evaluasi kurikulum ini anak-anak juga harus dilibatkan. itulah sebabnya kurikulum yang unggul itu selalu dikembangkan. Apabila sebuah kurikulum menghalangi minat dan bakat anak-anak untuk berkembang, sejatinya perombakan kurikulum harus dilakukan. Jika tidak, kurikulum lagi-lagi jadi penjara bagi anak-anak kita.

Ada banyak perkembangan luar biasa pada era teknologi ini, para pendidik harus menyadari, anak-anak milineal jauh lebih progresid dibandingkan anak-anak pada masa lalu. Orang tua, dan pendidik masa kini kerap berujar bahwa pendidikan karakter anak terabaikan dalam kurikulum pendidikan masa kini. jaman yang berubah sejatinya perlu direspon dengan metode-metode pendidikan mutakhir.

Pertanyaanya sekarang, berapa banyak guru atau dosen yang bisa dikatakan ilmuwan atau cendikiawan yang berkontribusi bagi hadirnya kurikulum yang memerdekakan. Sampai kapan anak-anak kita terpenjara oleh kurikulum yang hanya hadir dalam bentuk dokumen, dan tak pernah dikembangkan untuk menjawab kebutuhan anak-anak kita. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun