Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Pasar Baru": Refleksi atas Gugatan Iklan Lifebuoy

1 Desember 2013   19:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_305774" align="aligncenter" width="273" caption="Sumber: http://www.unilever.com.lk/our-brands/detail/Lifebuoy/324446/"][/caption] Tidak lama setelah tayang, iklan program "5 Tahun Bisa untuk NTT" dari sabun lifebuoy mendapat protes. Gugatan itu muncul dari kalangan perwakilan masyarakat Nusa Tengara Timur NTT). Mereka menganggap materi iklan (di sini & di sini) menggunakan logika generalisasi data yang tidak dapat diterima. Protes itu dilakukan melalui petisi online (di sini). Meski demikian, hal itu tidak lantas membuat program sabun itu ditolak. Mereka hanya ingin agar materi iklan diperbaiki, agar tidak membuat masyarakat NTT tersinggung. Dari pembacaan atas petisi itu yang menjadi keberatan adalah: a. Adanya pernyataan generalisasi terhadap masyarakat NTT dengan kata-kata: "rendahnya pemahaman untuk hidup bersih." b. Sumber data yang dipakai perusahaan lifebuoy (di sini) tidak menunjukan kondisi kabupaten Kupang secara umum dan desa Bitobe secara khusus sebagai daerah dengan sanitasi seburuk yang dipesankan dalam iklan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kab. Kupang menempati urutan ke-13 dari 22 kabupaten di NTT. Bahkan untuk persentase Rumah Tangga berperilaku hidup bersih NTT berada di peringkat 18 dari 34 provinsi di atas Riau, Sulawesi Tengah dan Jawa Barat. NTT bukan yang terburuk. c. Dan menurut mereka, adalah tidak adil kalau dampak program yang diberikan hanya pada desa Bitobe, namun hasil propaganda melalui iklan itu bagi kepentingan perusahaan bisa lebih luas (mencapai tingkat nasional). Kebaikan adalah alat Pada bagian akhir petisi tersebut, mereka menyerukan agar dihentikannya praktek eksploitasi kondisi sosial masyarakat NTT demi kepentingan bisnis.

Penulis sendiri tidak menyangkali fakta adanya keuntungan bagi perusahaan melalui program ini. Adalah tidak logis--sehingga tidak mungkin perusahaan ini mau melakukannya--kalau apa yang mereka buat itu tidak berdampak bagi kepentingan perusahaan. Apa yang dianggap tidak adil oleh kelompok memprotes itu, terkait hasil program dengan dampak citra dan promosi produk perusahaan sesungguhnya adalah benar. Perusahaan sabun ini nampaknya cerdik memanfaatkan kondisi masyarakat desa Bitobe di NTT itu untuk mempromosikan produk dan citranya. Apa yang mereka buat tidak sebanding dengan citra yang berhasil mereka bangun. Apalagi, iklan tersebut juga "memprovokasi" masyarakat luas untuk terlibat, yang dengan kata lain kompensasi bagi masyarakat desa Bitobe juga berasal dari pihak lain. Sungguh, adalah bentuk pencitraan yang amat menguntungkan. Ibaratnya, tidak banyak berbuat namun mendapatkan hasil yang besar. Di sini, kebaikan melalui progam "5 Tahun Bisa untuk NTT" adalah alat bagi kepentingan pembuatnya. Refleksi atas gugatan Penulis mengira akan menemukan substansi gugatan yang tajam atas iklan tersebut. Rupa-rupanya, protes itu juga tidak begitu dalam, selain berbicara soal teknis yang perlu diperbaiki. Tuntutan atas perubahan cara pandang terhadap realitas masyarakat NTT juga tidak begitu jelas. Kalaupun ada yang diharapkan, maka itu sekedar jangan menjadikan kondisi sosial masyarakat NTT sebagai komuditas bisnis. Penulis sendiri ingin memandang semangat gugatan atas iklan sabun ini dengan sedikit berbeda. Bagi sebagian kita yang menempatkan gaya hidup masyarakat tertentu--sebut saja, sebagai contoh kebiasaan menggunakan sabun untuk mencuci tangan dan atau mandi--sebagai yang baik, benar, dan apalagi cerminan masyarakat berperadaban (maju), maka kebiasaan lain di luar itu adalah sebuah ketertinggalan. Nampaknya, anggapan terhadap gaya hidup demikian (menggunakan sabun) sebagai yang baik tidak bisa dilepaskan dari praktek kehidupan sebagian masyarakat (yang disebut) modern hari ini. Pada saat yang sama muncul rupa-rupa kategori sebagai penanda atas praktek hidup, seperti pola hidup bersih (kesehatan), melek huruf (bidang pendidikan), serta rupa-rupa kategori lainnya. Gaya hidup dalam berbagai kategori tersebut kemudian dipandang sebagai yang terbaik sehingga layak untuk "diimpor" kepada masyarakat lain yang tidak memiliki kebiasaan yang sama. Praktek ini biasanya didukung berbagai macam data kuantitatfi, misalnya, terkait jumlah keluarga miskin dan kematian ibu dan anak di suatu wilayah, dan hal-hal jelek lainnya, sebagai rasionalitas pentingnya sebuah praktek hidup gaya "modern" ini diadopsi. Maka, mulailah bermunculan berbagai program berbungkus pemberdayaan sosial dengan segala modifikasinya, dialamatkan kepada kelompok masyarakat yang dikategorikan tertinggal itu. Pada perspektif ini, kelompok masyarakat "tidak modern" lantas secara perlahan diarahkan untuk mengubah gaya hidupnya. Untuk konteks iklan sabun, misalnya, dari sebelumnya tidak menggunakan sabun menjadi menggunakannya. Dampak dari itu kebergantungan masyarakat terhadap sabun akan terbentuk. Keberadaan produk perusahaan sabun pun menjadi penting. Pada titik ini, kelompok masyarakat ini adalah pasar baru bagi komuditas sabun atau pemilik modal. Cerminan mentalitas Akhirnya, menurut penulis, iklan sabun adalah cerminan bagaimana mentalitas "manusia modern" dengan watak kapitalistiknya memadang realitas lain di luar dirinya. Ketika praktek kelompok manusia tertentu tidak mencerminkan pola hidup yang dianggap mereka paling tepat dan benar, tidak masuk dalam kategori yang dibuat, maka kelompok tersebut akan dicap sebagai terbelakang, terburuk, dan mungkin tidak berperadaban. Maka, gugatan atas kehadiran iklan sabun yang hanya berkutat pada hal praktis adalah sesungguhnya tidak menyentuh akar persoalan. Semestinya gugatan itu mampu diarahkan pada kritik atas praktek hidup modern yang dianggap paling baik, suci, dan pantas. Karena pada area itulah sesungguhnya pembicaraan terkait harga diri itu mendapat tempat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun