Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Sehat karena Olahraga

18 Maret 2017   00:04 Diperbarui: 18 Maret 2017   22:01 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piala dunia 2006 di Jerman, Italia menang dari Prancis, FOTO: giovannimancini.com

Hari-hari ini, dunia olahraga sedang bergetar dengan berbagai cabangnya. Sepak bola Eropa dengan liga champions-nya sedang siap-siap dengan perempat final pada April mendatang. Indonesia dengan cabang bulu tangkisnya berhasil menjadi juara di All England 2017 di Inggris.

Semua ini menjadi oase di tengah buramnya situasi dunia olahraga Indonesia. Tapi, kita tetap berharap, akan ada saatnya, kita pun menikmati indahnya dunia olahraga. Harapan itu sudah muncul mulai dengan dunia sepak bola Indonesia. Tak tanggung-tanggung, harapan tinggi pun diletakkan pada pelatih timnas Indonesia Luis Milla. Sudah saatnya, Indonesia mesti mendapat peringkat yang baik di cabang ini. Tidak keliru kiranya jika kita tengok pada cabang olahraga lainnya seperti bulu tangkis yang namanya sudah mendunia.

Harapan kita memang masih sebatas angan-angan. Boleh jadi kita terlalu tinggi berharap sementara kenyataannya nanti tidak sampai di situ. Tapi tidak apa-apa. Harapan memang mesti tinggi. Harapan tidak boleh setingkat dengan kenyataan. Kalau setingkat dengan dunia ril, itu bukan harapan.

Semua rakyat Indonesia kiranya berharap demikian. Ini bukti cinta pada negara khususnya dunia olahraga. Harapan itu memang mesti datang dari rakyat banyak. Sebab, tanpa dukungan rakyat, dunia olahraga tidak akan berarti. Lihat penonton di All England yang dengan girangnya meneriakkan nama Indonesia di hadapan publik kota Birmingham-Inggris. Ini adalah bentuk cinta warga Indonesia di luar negeri.

Kita yang lain pun boleh meniru teriakan warga Indonesia di Inggris ini, tapi yang lebih penting kiranya adalah apakah kita yang lain juga ikut berolahraga? Ini kiranya lebih penting dari sekadar berteriak mendukung jagoan kita.

Jika kita sudah berani berolahraga, dukungan kita pun akan makin solid. Dukungan itu dengan demikian bukan sekadar teriakan kosong. Dukungan dari pecinta olahraga akan lebih bergema ketimbang mereka yang sekadar berteriak tapi tidak pernah berolahraga.

Roma vs Lione FOTO: repubblica.it
Roma vs Lione FOTO: repubblica.it
Kita boleh berguru pada Italia, satu dari beberapa negara pecinta olahraga di dunia. Di negara ini, banyak cabang olahraga. Sepak bola adalah yang terpopuler. Sebagian besar penduduk Italia memiliki jagoan di klub sepakbola. Misalnya, sebagian besar warga Parma memilih jagoannya Parma FC sebagai nomor satu. Pilihan nomor dua-nya boleh klub lain seperti Juventus, AC Milan, atau Napoli. Pilihan nomor satu adalah wajib, sebab klub sepak bola Parma FC menjadi kebanggan warga Parma. Klub ini seperti jantung olahraga warga Parma. Jangan heran jika Parma FC menang, seisi kota Parma akan memenuhi jalanan kota dengan teriakan yel yel atau konvoi mobil. Kota yang kecil—setingkat kota kabupaten di Indonesia—secara politis ini rupanya makin besar dari segi ekonomi.

Seperti warga Parma yang cinta klub Parma FC, secara nasional warga Italia pun mencintai klub nasional mereka. Baik cabang sepak bola maupun voli (putra-putri), basket, renang, balap motor, dan mobil, dan cabang lainnya. Uniknya lagi, warga Italia tidak saja menjagokan klub-nya tetapi juga ikut berolahraga. Baru-baru ini, badan statistik Italia (Istat) bersama komite olahraga nasional Italia (Coni) baru saja merilis laporan tahunan 2016. Rupanya 1 dari 4 orang Italia berolahraga secara teratur.

Berita ini memang sungguh menggembirakan. Italia dengan angka kelahiran paling sedikit untuk ukuran eropa rupanya tak berpengaruh pada bidang olahraga. Jangan heran jika olahraga masih menjadi bagian dari kehidupan warga yang 22%-nya berumur di atas 75 tahun. Ini berarti olahraga menjadi bagian dari kehidupan anak-anak sampai orang tua di Italia. Kenyataan ini menjadi sebuah kebanggan besar. Ketua komite olimpiade nasional Italia Giovanni Malagò menyebutnya sebagai sebuah hadiah olimpiade. Hadiah ini amat bernilai sebab untuk mendapatkannya dibutuhkan perjuangan besar. Seorang atlet olimpiade mesti melewati latihan di berbagai tempat sebelum sampai pada tingkat internasional itu.

Besarnya partisipasi warga ini membuat Italia menempati posisi ke-9 di benua Eropa sebagai negara yang aktif berolahraga. Ketua Istat Giorgio Alleva pun bangga dengan hasil ini. Menurutnya, ini adalah sebuah kemajuan yang mesti terus ditingkatkan. Italia memang belum menjadi 5 besar. Allevva pun membandingkan dengan Prancis yang setingkat di belakang Italia (urutan 10) dan juga dengan Yunani di depannya (urutan 8). Urutan ini—tegas Alleva—memang  dibuat berdasarkan penelitian pada penduduk 18-29 tahun yang punya ritme olahraga paling sedikit 1 jam dalam seminggu. Agar bisa naik pada tingkat berikutnya, Alevva pun mengajak penduduk Italia yang berkategori ‘malas olahraga’ (sekitar 52,7%-nya adalah wanita) untuk berolahraga, paling tidak memilih 1 dari banyak cabang yang ada.

Patrizia Panico, Pelatih Perempuan pertama di klub Italia Under 19, FOTO: repubblica.it
Patrizia Panico, Pelatih Perempuan pertama di klub Italia Under 19, FOTO: repubblica.it
Meski banyak warga berolahraga, usaha ini masih menjadi tugas berat bagi Italia. Rasa malas yang dibumbui dengan padatnya jadwal kerja masih menjadi alasan utama bagi para ibu di bagian Selatan untuk berolahraga. Ibarat sebuah pilkada atau pilpres, Italia mesti buat kampanye besar-besaran lagi. Biar masyarakatnya sadar akan pentingnya olahraga. Diperkirakan 6 juta warga yang belum memilih satu jenis olahraga pun. Badan olahraga Italia, Centro sportivo italiano(Csi), dengan 1000 pusat olahraga hanya mengantongi pendaftaran di sekitar 1.151 tempat. Sementara Coni memperkirakan 6.663.165 atlet yang terdaftar secara resmi. Ini memang tidak menjadi tolok ukur tingkat partisipasi warga. Sebab, masih ada pusat latihan olahraga lainnya yang dimiliki oleh swasta yang datanya tidak atau belum terdeteksi oleh Coni maupun Csi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun