Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyelami Fenomena "Komen Amin, Like dan Share"

14 Desember 2016   20:03 Diperbarui: 27 Mei 2019   21:24 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Like, Share and Comment on Facebook - ilustrasi: shutterstock.com

Bagi pengguna socmed, frasa komen Amin, Like dan Share (ALS) sudah sering dijumpai. Di linimasa, berita bombastis, sensasional, dan kadang provokatif umumnya akan dilabeli frasa ini. Apalagi ditambahi "bumbu". Bumbu ini bisa berupa gambar, quote, atau video yang juga bombastis, sensasional, dan kadang provokatif.

Bagi banyak orang, berita ini kadang begitu benar dan valid. Namun, kadang berita yang disebarkan malah menjadi berita hoax. Ada yang begitu "buta" untuk sekadar mencari informasi yang benar dan valid akan satu berita sehingga mereka terjebak dalam sebuah entrainment. (Baca artikel saya: Mengekor Isu Sari Roti, Equil, Sampai Lempar Jumrah)

Fenomena komen ALS dalam ranah search engine optimization (SEO) dan blogging hanyalah click bait. Dengan kata lain "pancingan" agar traffic satu situs atau akun menjadi hot topic, trending atau ranking teratas. 

Saat traffic padat karena banyak yang berkomen ALS, iklan pun datang berduyun-duyun. Tak ayal, saat banyak kolom iklan di blog atau linimasa kita, uang pun diraup oleh oknum yang membuat blog atau akun tadi. 

Kadang akun "selebritas" dengan ALS terbanyak dapat dijual dengan harga yang mencapai puluhan juta. Tujuannya bisa digunakan untuk komersial maupun agenda politik tertentu. Mungkin ada sebagian dari kita yang pernah ALS pada satu akun. 

Dulu akun yang kita ALS mungkin begitu mengundang empati dan simpati, tapi kini berubah menjadi akun iklan atau pasangan cagub dalam suatu pilkada daerah.

Namun di sini saya coba urai apa yang membuat kita "tidak sadar" kenapa kita begitu mudah memberi ALS. Di artikel tentang entrainment sudah saya berikan sedikit gambaran tentang insting partisipatif dan jiwa sosial yang dilibatkan dalam berita hoax. Namun, mari kita telaah lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi dalam diri kita saat melihat berita yang bombastis, sensasional, dan kadang provokatif ini.

Gilad Lotan, seorang developer di SocialFlow mengatakan bahwa "Orang lebih senang me-retweet apa yang mereka inginkan menjadi sebuah kebenaran menurut prinsip dan nilai yang mereka pegang." 

Di sini terlihat sebuah kebutuhan dasar seseorang memvalidasi berita atas dasar kebenaran yang mereka ukur menurut satu parameter. Dan kadang satu parameter umum yang orang gunakan adalah suku, agama, ras, dan kebangsaan. 

Parameter ini yang menjadi tolok ukur 'kebenaran' yang mereka inginkan, baik di dunia nyata maupun dunia maya, parameter-parameter ini menjadi pegangan bersama.

Jika satu informasi tidak memenuhi parameter kesukuan, agama, ras, dan kebangsaan maka berita ini tidak valid. Sebaliknya, jika satu berita sudah sesuai dengan salah satu parameter, maka berita hoax, provokatif dan berisi hate speech pun dianggap (baca: diinginkan) untuk menjadi kebenaran.

Contohnya saat kita memberi ALS pada satu berita soal Ahok yang akhirnya ditahan. Atau isu soal bom panci yang dianggap mengada-ada atau konspirasi. Semua berita ini biasanya "dibungkus" dengan parameter agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun