Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memang yang Makan Mie Samyang Muslim Saja?

19 Juni 2017   17:45 Diperbarui: 20 Juni 2017   15:10 6315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mie Samyang - foto: babyzania.com

Saya pribadi merasa 'tidak nyaman' dengan pelabelan mie ilegal atau dilarang edar. Beberapa mie impor Korea yang diduga mengandung bahan non-halal kini dilarang dijual. BPOM dan MUI kini bertindak cepat karena gegabahnya mereka mengizinkan mie non-halal ini beredar. Yang menjadikannya pelik adalah, kenapa harus dilarang beredar? Memang negara ini negara untuk satu agama tertentu?

Tidak bisa dipungkiri jika mayoritas terbesar umat Islam dunia ada di Indonesia. Konsekuensinya, konsumen pun tentu akan berasal dari agama mayoritas. Namun apakah laik jika secara khusus melarang mie Korea yang diduga mengandung bahan non-halal secara luas. Bukankah negara ini juga memiliki konsumen non-muslim? Jadi apakah konsumen yang non-muslim tidak berhak membeli dan mengonsumsinya?

Pencabutan dan pelarangan ijin edar telah resmi diterbitkan Badan POM. Beberapa supermarket besar pun telah diimbau untuk menarik peredaran 4 mie Korea yang diduga mengandung kandungan non-halal. Keempat mie tersebut adalah Samyang merek U-Dong dan Kimchi, Nongshim jenis Shin Ramyun Black, dan Ottogi jenis Yeul Ramen (berita selengkapnya di sini).

Ada beberapa benang merah yang perlu dicermati, khususnya tentang makanan halal di Indonesia.

Pertama, istilah 'babi' yang kesannya terlalu bigot. Karena toh ada eufimisme untuk terma ini, yaitu non-halal. Terminologi eufemisme sebenarnya sudah sering kita jumpai. Misalnya istilah keterbatasan fisik seperti tunarungu untuk budeg, tunagrahita untuk keterbelakangan mental, dll. 

Mendengar dan membaca kata babi sudah demikian 'keras' untuk konteks linguistik. Karena konotasi segregasi pada ranah agama jadi kian keras. Dan akibatnya, 'babi' menjadi kata yang juga dirasa keras. Bukankah ada baiknya menggunakan istilah yang lebih ilmiah. Apalagi diucapkan oleh para pejabat negara yang tentu tidak rendah pendidikannya.

Kedua, isu pada penerbitan izin beredar pada mie. Sesuai pernyataan pihak Badan POM pada isu ini, yang mengatakan penerbitan izin karena importir sudah dikenal membuat kita skeptis. Begitu mudahnya kompromi tanpa tes dan uji laboratorium BPOM ijin varian mie ini. Jika satu produk ini saja 'berhasil lolos', bisa jadi dengan produk impor lain?

Loophole pada isu ini jangan menjadi alasan melarang dan menarik produk. Karena toh ini adalah murni 'human error'. Karena produsen atau importir inginnya menjual produknya. Tugas BPOM-lah yang memfilter peredaran mie yang dianggap mengandung bahan non-halal. Ditambah MUI sebagai 'rekan' agama mayoritas pun menjadi keabsahan yang umum.

Ketiga, pelabelan halal yang kini menjadi isu yang tidak lagi populer. Negara dengan BPOM dan Menkes, Mendag jangan hanya jadi penonton pelabelan halal. Karena yang kami tahu, jika sudah lolos MUI maka semua halal. Negara tidak banyak berperan dalam menjaga apa yang dikonsumsi penduduknya, sepertinya.

Isu ini pun berkaitan dengan konsumsi oleh agama non-mayoritas. Jika saja halal atau non-halal menjadi monopoli agama mayoritas, maka efeknya bisa dilihat pada kasus mie Samyang ini. Bukankah konsumen non-muslim juga berhak untuk membeli dan mengonsumsinya? Jangan sampai ada 'ilustrasi' lucu di masyarakat. Jika mau membeli mie ini kasir di supermarket bertanya "Agamanya apa pak/bu/mba/mas?"

Label halal memang tetap menjadi kelaikan pada di negara mayoritas muslim. Namun bukankah lazim juga menyertakan label non-halal pada beberapa makanan. Sehingga konsumen pun memiliki kepastian akan apa yang hendak dikonsumsi. Jika ada kepastian label non-halal, konsumen non-muslim pun tahu. Label non-halal ini juga menjamin 'hak dasar' konsumen non-muslim. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun