Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hebat, Iklan Rokok Kini Sudah "Bebas" Seliweran di TV

20 April 2017   17:42 Diperbarui: 21 April 2017   03:00 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TV Mind Control - ilustrasi: elbdisliker.at.ua

Adalah sebuah keprihatinan saat iklan rokok kembali tayang sebelum pukul 09:30 malam. Saat aturan ini sudah jelas digariskan PP 109/2012 tentang Iklan/Promosi Iklan Rokok, para produsen pintar-pintaran 'menyesatkan' kita. Pada Pasal 29 tegas tertulis jika iklan rokok hanya boleh disiarkan setelah pukul 21:30-05:00. Detail-detail menyangkut promosi iklan baik dalam penyiaran maupun non-penyiaran sudah jelas digariskan. Namun ada saja cara produsen rokok 'meracuni' televisi dengan iklan rokok, sepanjang hari.

Saya sudah beberapa kali menyaksikan iklan rokok tayang pagi, siang atau sore hari. Banyak yang menyadarinya secara sub-conscious. Namun tidak banyak yang bisa mengkonkritkannya dengan kata. Karena tampilan grafisnya begitu kerena. Ditambah, 'bungkus' iklan rokok pun tidak menunjukkan iklan rokok. Jika kita lihat iklan rokok diatas jam 10 malam, iklan ini memakai pembungkus yang jelas.

Kenapa iklan ini bisa bersliweran di TV diluar jam tayang? Mungkin itu pertanyaan kita sekarang. Bukankah sudah ada larangannya? Benar adanya larangan dan batasan sudah dipatuhi. Namun apa yang terjadi adalah simbolisasi inklandestin dari rokok itu sendiri yang kini ditayangkan.

Saya ambil contoh sederhana seperti kasus 'simbol' palu arit pada duit pecahan 100 ribu. Bagaimana isu ini menjadi viral dan meresahkan adalah karena asosiasi simbol dalam kepala kita yang begitu aktif. Kita akan cenderung mengingat dan mengasosiasikan simbol/nuansa/rasa/nada, dll dengan pengalaman. Simbol di pecahan 100 ribu yang diduga (dengan visualisasi kreatif) adalah palu arit adalah kreatifitas fikiran kita. 

Pecahan 100 RIbu - foto: republika.com
Pecahan 100 RIbu - foto: republika.com
Jika simbolisasi palu arit adalah latensi bangkitnya komunisme menjadi isu yang tabu. Maka dengan iklan rokok, hal ini berbeda end product-nya. Karena rokok menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang, maka tidak ada yang begitu signifikan. Ditambah kerugian isu ekonomis dimana ribuan pekerja dan petani tembakau tergantung penjualan rokok. Di satu sisi, isu ini menjadi signifikansi bagi para penggiat anti rokok dan kesehatan. Maka muncullah aturan yang mengatur dan mencari solusi win-win kedua belah pihak

Namun pihak yang kontra nampaknya saat ini sudah bingung untuk melihat fenomena simbolisme inklandestin iklan rokok.

Iklan rokok kini berbungkus beasiswa, pertandingan olahraga, ajang olahraga ekstrim, dll. Kenapa iklan-iklan ini saya sebut juga iklan rokok? Pada penampakan literalnya, iklan seperti ini memang tidak sama sekali menyinggung PP 109/2012. Namun yang bermain di kepala kita adalah kreatifitas simbolisasi.

Cobalah baca kata-kata dengan tanda asterik berikut: 

Dja** atau Sur**P**

Tanpa tanda asterik pun kita tahu nama lengkap produk tadi. Bahkan, warna font, borderline font, warna background font iklan rokok ini ada di dalam fikiran kita. Ditambah, iklan-iklan rokok non-penyiaran pun begitu sering kita lihat. Di baliho, di warung kelontong, di spanduk toko atau pasar, dsb. Iklan-iklan non-penyiaran dengan brand produk rokok yang tanpa tedeng aling-aling dikonsumsi fikiran kita, menambah kreatifitas inklandestin simbol. 

Mungkin saja anak SD yang tidak faham iklan beasiswa Dj*** akan tahu bahwa beasiswa tersebut dari produsen rokok. Karena mau-tidak mau, faktanya brand rokok jelas terpampang di iklan beasiswa. Dengan ejaan lama dan font yang serupa dengan apa yang anak ini lihat di spanduk atau baliho di depan sekolahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun