Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Etika Memakai Gawai Saat Momen Sungkeman Lebaran

22 Mei 2020   05:45 Diperbarui: 2 April 2022   17:42 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memakai Gawai - (Photo by mentatdgt from Pexels)

Sungkem usai shalat Idul Fitri menjadi ritual setiap Lebaran yang tidak bisa dilupakan. Turun-temurun setiap keluarga akan mengulang dan mewariskan protokol sungkeman. Karena begitu sistematis dan hirarkisnya prosesi sungkeman kala merayakan Lebaran. Maka jika ada tindakan atau perilaku yang mengganggu kesakralan prosesi ini dianggap tidak sopan. 

Banyak orang tidak ingin menjadi individu yang dianggap menyalahi aturan ini. Bahkan mungkin untuk sekadar berfoto selfie di kala berbaris untuk bersungkem kepada nenek buyut kita. Bisa saja ada saudara, paman, atau bibi yang menyindir kita langsung atau tidak langsung.

Gadget atau gawai memang sudah menjadi bagian integral kehidupan manusia modern. Dimanapun dan kapanpun, baik smartphone, tablet, atau wearables kita akan bawa dan perhatikan. 

Lebih baik tertinggal dompet di rumah daripada tidak bawa smartphone. Bahkan sebelum kita tidur sampai sesudah kita terbangun, gawailah yang pertama terpikirkan dan dicari. Begitu lekat kehidupan dan perilaku kita dengan gawai.  

Namun, ada beberapa konteks situasi dimana gawai baiknya dijauhkan. Contohnya adalah saat sedang makan. Walau kita sering melihat orang asyik menikmati makanannya dengan memegang smartphone-nya. 

Tetapi berdasarkan aturan table manner, membawa gawai ke meja makan adalah sebuah perbuatan yang negatif. Selain mengalihkan fokus kepada menikmati makanan. Gawai pun sering mengurangi interaksi dan komunikasi kita dengan orang yang makan bersama kita.

Ada sebutan khusus perilaku orang-orang yang begitu lekat dengan gawainya. Sampai-sampai ia lupa diri berada di kerumunan orang. Perilaku ini disebut phubbing. 

Dimana perilaku ini dengan sengaja mengasingkan diri di tengah keramaian. Baik saat berkumpul dengan teman atau keluarga, bahkan reuni sekolah. Sehingga, ada kesan perilaku phubbing semacam sikap anti-sosial. Beberapa orang yang begitu fokus dengan gawainya kadang tidak menjawab saat ditanya atau mengobrol.

Sehingga terjadi paradoks dari interaksi manusia modern dengan gawai. Gawai tidak pernah dan sulit lepas dari semua rutinitas dan interaksi sosial. Namun di satu sisi, orang yang terlalu gandrung dengan gawainya bersikap tidak acuh atau tidak peduli. Sehingga orang memakluminya dalam konotasi negatif. 

Bayangkan kalau perilaku phubbing terjadi saat sungkem. Sedang momen ini begitu personal bahkan sakral. Mengapa momen sungkem dianggap demikian?

Karena hanya pada momentum Lebaran, hampir semua anggota keluarga besar bisa berkumpul. Kadang tidak memandang keyakinan atau agama dari anggota keluarga. Momen ini penting juga bagi keluarga yang baru bisa mudik 5 tahun sekali, karena tinggal di luar negri. Prosesi ini begitu personal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun