Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Etika, Jembatan yang Lapuk di Antara Manusia dan Teknologi

6 Juni 2018   20:45 Diperbarui: 7 Juni 2018   09:43 2260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penggunaan teknologi sehari-hari (Gambar: Pexels/Rawpixels.com)

Marc-Tessier Levigne mencanangkan etika sebagai bagian dari kurikulum Stanford University yang dipimpinnya. Etika menjadi isu sentral ditengah kemajuan teknologi dan sosial yang kian lepas kendali. Permasalahan yang timbul akibat lalainya vendor teknologi pun terjadi. Contohnya seperti pelanggaran privasi guna mendapat perilaku atau data pribadi pengguna internet. 

Menurut sang presiden, Stanford turut bertanggung jawab secara tidak langsung atas permasalahan tersebut. Standford University sendiri menjadi penyumbang lulusan terbaik di Google, LinkedIn, Instagram, dsb. Sehingga, Marc-Tessier Levigne melihat etikalah yang harus menjadi jembatan antara teknologi dan manusia.

Di tahun 2010, Zuckerberg menganggap pengguna sosmed tidak peduli lagi dengan ranah privasi. Sampai terbukti pada kasus Cambridge Analytica yang memperalat Facebook demi kepentingan politiknya. Di tahun 2010, Google terindikasi memonitor traffic internet users melalui WiFi. Lagi, di tahun 2016 Google juga didapati merekam percakapan melalui applikasi voice search-nya.

Pola filter bubble, yang disisipkan pada algoritma sosmed seperti Facebook, pun sejatinya berbahaya. Banyak yang menilai, polarisasi politik yang terjadi diakibatkan echo chamber pada lingkup homogen sosmed. Menurut seorang peneliti dari MIT Sinan Aral, FB sejak lama sudah mengumpulkan bias politik. Dampaknya, para pemilih pun terpengaruh dalam memberikan suaranya saat pemilu.

Etika juga menjadi isu pada tingkat users/pengguna. Kesadaran akan keamanan berinternet kadang sering diacuhkan. Kasus ransomware pada medio 2017 pun sempat membuat kita tertegun. Pada sisi kesehatan pun, kita kadang tidak begitu perduli. Betapa sinar HEV layar gadget kita menyebabkan digital eye strain. Bahkan saat kita menunduk melihat gawai, otot leher kita terbebani sampai puluhan kilo. Dan dampak jangka panjangnya, bisa mungkin menyebabkan tumor.

Political Rant - ilustrasi: businesessgrow.com
Political Rant - ilustrasi: businesessgrow.com
Belum lagi menyoal isu hoaks, cyberbully, hate speech sampai scamming yang menjadi konsumsi sehari via internet. Dunia digital selain medium euforis, juga menjadi ajang kejahatan oknum tidak bertanggung jawab. Demi meraup keuntungan ekonomis, kepentingan partisan, sampai persoalan personal, internet bukan lagi tempat yang aman.

Benarlah jika presiden Standford melihat etika sebagai remedi kuratif dan preventif isu ini. Manusia dengan teknologi digital yang cepat berinovasi, tidak sanggup mengukur dampak internet yang akan terjadi. Baik pada taraf inovator teknologi sampai level users, etika yang digunakan dalam berteknologi masih kabur. Belumlah jelas apa yang menggariskan salah atau benar di dunia digital. Tidak seperti dunia nyata dimana etika dibangun atas dasar norma, nilai dan konvensi bersama.

Dalam konteks Indonesia, kita ambil kasus ojek konvensional dan online. Pihak provider, pengguna jasa, dan otoritas terkait tidak begitu peduli dengan etika. Baik pada level aturan tertulis atau perilaku dari mitra dan pengguna, kadang hal ini diatur belakangan. Dibuat setelah ada kasus kriminal, privasi, pola kolektivisme yang terjadi. Provider ojek online hanya mengatur algoritma demi keuntungannya dan mitra. Otoritas Dishub, Kemenhub sampai Polisi pun dipacu waktu dan tenaga memfasilitasi friksi ojol/opang yang terjadi.

Saat etika harus menjadi pedoman berteknologi, maka literasinya sebagai pemandu harus disusun. Karena mau tidak mau, etika harus dipelajari baik secara formal maupun informal. Kini, literasi digital menjadi pertaruhan membenahi generasi Milenials. 

Di Indonesia, dengan lebih dari 140 juta pengguna internet literasi digital kita memprihatinkan. Melek ber-internet masih dimulai sebagai program, bukan level kurikula. Entah sampai kapan kita harus terus meraba identitas diri dalam beretika di dunia digital. Saat literasi digital saja masih sekadar wacana.

Salam,

Solo, 6 Juni 2018

08:47 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun