Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Disturbing Picture dan Festivalisasi ala Sosial Media

14 Agustus 2017   10:09 Diperbarui: 28 Mei 2019   13:24 7186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Facebook Blood : ilustrasi: whatculture.com

Disturbing picture atau DP saya kenal pertama kali di forum Kaskus. Padanan bahasa Indonesia mungkin gambar 'memuakkan'. Kenapa memuakkan? Bukan berarti membuat kesal. Tapi lebih kepada rasa tidak enak, mual, bahkan mengerikan bagi yang melihatnya. Contoh baru-baru ini adalah aksi masa dan pembakaran terduga maling amplifier di Bekasi. Video dan gambar yang viral di FB ini memang memprihatinkan. Bagaimana festivalisasi kebengisan dan kesadisan diumbar di sosial media.

Apakah pengunggahnya tahu dan paham bahwa tidak semua orang akan senang dengan video macam tadi? Saya kira di dunia sosial media, batasan perikemanusiaan dan sensasi tanpa ada batas lagi. Selama itu baru, sensasional, dan mengundang tanya (baca; komentar/like/RT), tetap akan dibagi di sosial media.

Insting berbagi sebenarnya sudah ada sejak manusia pra-sejarah. Contoh sederhananya adalah food foraging dan sharing. Food foraging atau mencari makan adalan insting hidup individu. Dalam banyak riset etologi tentang food sharing, manusia menjadi spesies yang mengikuti pola hewan lain. Kita akan berbagi lebih banyak makanan dengan keluarga. Ditambah pula berbagi dalam hal lain seperti, sandang, papan, dan teretori. Kini, bagi generasi digital, informasi menjadi hal yang juga dibagikan.

Namun sayangnya, banyak yang kebablasan dalam berbagi. Salah satunya adalah DP. Saat banyak orang merasa rikuh, mual bahkan menolak melihat darah. Banyak pula orang yang merasa biasa saja. Bukan berarti yang kuat melihat darah atau badan manusia terkoyak adalah psikopat. Tapi lebih kepada melihat realitas manusia yang begitu lemah, namun banyak yang begitu angkuh.

Dan saat sosial media menjadi ajang festivalisasi DP, maka tak ayal kita pun memberontak. Apa yang ada dipikiran orang yang berbagi video kecelakaan, orang loncat gedung, orang tenggelam, atau digebuki dan dibakar masa? Bagi sebagian, mungkin sensasi ala sosial media yang lebih penting. Berpikir tentang norma, etika atau pelanggaran hukum nanti saja.

Saat kita dipicu sensasi rasa over-sharing dan addiction pada sosial media, ada 'kegilaan' tersendiri. Saat informasi menjadi kebutuhan dasar sehari-hari orang modern, kita akan lebih cenderung berbagi dan mengecek sosial media kita. Dari mulai keluhan, selfie, video, sampai hal senonoh pun menjadi bagian dari sosial media. Karena internet, termasuk sosial media di dalamnya, adalah dunia euforia dan hideways bagi banyak orang. Maka realitas, norma, agama, SARA adalah hal tabu. 

Namun beberapa orang masih waras dan berakal sehat dalam bersosial media. Maka, dibuat UU ITE guna meminimalisir hal-hal yang kebablasan di dunia maya. Dan DP pun menjadi salah satu yang diatur didalamnya. DP bisa jadi termasuk melanggar kesusilaan atau norma/sopan santun. Buktinya pun, penyebar video kasus maling amplifier di Bekasi pun ditangkap polisi. Namun bagaimana dengan para polisi yang memajang para begal yang sudah ditembak mati? Baca artikel saya Aksi Polisi Lampung dan War Pornography.

Atau juga video kecelakaan, bencana alam, atau hal-hal yang melibatkan darah manusia yang tertumpah tetap menjadi festivalisasi sosial media. Beberapa merasa fine-fine saja selama korban wajah dan lukanya di-blur. Karena setidaknya sudah dikaburkan darah dan luka korban, maka menjadi 'biasa' saja. Namun apakah interpretasi di kepala pada darah dan luka sama saja. Darah pasti merah, atau luka pasti menganga. Imaji dalam kepala kita tetap menjadikannya DP seutuhnya.

Lalu, apakah sebaiknya DP dilarang dipertontonkan di dunia maya? Sebuah jawaban infinitive muncul atau tanpa jawab. Karena toh ada situ-situs yang memang memfokuskan pada display DP, tentunya dengan warningdan viewer discretion. Yang terpenting adalah edukasi generasi abad ini tentang dunia maya, juga sosial media. Literasi digital menjadi sebuah urgensi saat ini.

Mengenali internet dan semua periferalnya tidak lagi dipandang dari fungsi instrument atau alat. Dunia maya adalah artefak budaya dan retorika generasi digital saat ini. Dan tak ayal, para digital immigrant pun harus ikut dalam arus teknologi. Penyebaran DP di sosial media menjadi concern juga dalam ranah literasi digital. Dan kita sebaiknya tahu dan memahaminya.

Artikel saya tentang literasi digital:

Salam,

Wollongong, 14 Agustus 2017

01:08 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun