Mohon tunggu...
Gilang Prayoga
Gilang Prayoga Mohon Tunggu... profesional -

Consultant I Freelance Writer I Pasca Sarjana Unsoed I Maiyah I Sebuah Catatan Tentang Indonesia I

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kerja Itu Ibadah! Kok Minta Bayaran!

19 Februari 2014   02:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:41 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin tematik judul di atas adalah antitesis dari dunia profesional yang banyak berlaku di lingkungan kita di tengah derasnya arus modernitas dan semakin berlomba-lombanya manusia untuk menggapai tingkatan profesi setinggi-tingginya. Mungkin pula ini semacam fenomena arus balik dari sebuah mainstream populer kebudayaan materialistik kita. Dan boleh jadi, hal ini pula merupakan inisiatif kebangkitan kembali sebuah gerakan moral untuk menumbuhkan kembali tradisi-tradisi luhur nenek moyang tentang kebersamaan, gotong-royong dan suatu sikap “nriman” dan tidak melampiaskan dorongan nafsu duniawinya, ideologi sumeleh, atau semacam lilahilataala. Suatu gerakan akan cita-cita mulia yang tentunya wajib di dukung bersama dari kita yang masih mendambakan kerukunan, kebersamaan dan indahnya keguyuban yang semakin hari semakin luntur dari kehidupan kita.

Dunia globalisasi kita sekarang ini tengah di kepung oleh teori-teori yang sedikit banyak berlawanan dengan semangat kebersamaan. Dunia modern telah mengajari kita menjadi sangat rakus terhadap dunia, kalau tidak boleh di bilang serakah. Di setiap jengkal nafas kita telah di kepung dengan derasnya kesadaran untuk mengalahkan orang satu dengan yang lain. Menghancurkan manusia lain untuk melegitimasi kemenangan. Menumbangkan saudara lain untuk memperoleh kejayaan. Meremukkan nasib ribuan orang lain untuk memperoleh kekayaan bagi segelintir orang. Dan sistem mekanisme semacam itu di sahkan dalam kerangka formal dan baku yang di sebut profesional. Kapitalisme menjadi darah yang mengalir dalam nadi setiap manusia modern.

Visi kendaraan kapitalisme adalah menghimpun modal dan sumber daya untuk melipatgandakan berkali lipat. Sedangkan baju profesionalisme adalah anda harus sanggup berbuat tega hati bahkan kepada kerabatmu sendiri. Jangan banyak omong moral, etika dalam dunia kapitalisme dan profesional, karena hal itu hanya menjadi gincu pemanis yang luntur oleh cipratan hujan materialisme.

Ayah anda sakit jantung, dan butuh dana besar untuk menanggung ongkos rumah sakit, sehingga ia harus meminjam sejumlah duit kepada Anda. Bila anda seorang kapitalisme dan profesional sejati, maka Anda wajib menghitung secara mendetail: besaran bunganya, jangka waktu pinjamannya, surat kreditnya, dlsb.Karena setiap yang kita miliki haruslah memiliki potensi investasi untuk masa depan kita. Kalau anda mempunya naluri kasihan, maka anda gagal menjadi profesional sejati.

Sosok Ayah ini bisa anda ganti sendiri dengan saudara, kerabat, tetangga, handai taulan, sahabat, kawan, atau yanglebih gamblangnya semua manusia. Silahkan anda mendebat bahwa di luar keluarga tentu perlakuannya adalah berbeda. Memang benar. Karena frame pemikiran kita hanya mengakui keluarga yang satu turunan saja, dan tidak meluaskan pandangan kita kepada saudara keluarga yang lain semisal keluarga sekampung, keluarga sebangsa, keluarga seiman. Kita terkeping-keping dalam memahami filosofis keluarga. Padahal mana di dunia ini manusia yang tidak bersaudara. Karena nenek moyangnya juga satu dan sama dari Nabi Adam As. Entah kalau yang lain berpendapat dan lebih senang menjadi berketurunan kera seperti teorinya kang Darwin.

Dan derasnya desakan kapitalisme dan profesionalisme itu telah semakin di percaya bagi kita sebagai satu-satunya metode untuk menghantarkan kita ke sebuah tatanan kesejahteraan. Teori bagaimana menciptakan laba setinggi-tingginya dengan modal sekecil-kecilnya telah menjadi semacam azimat bagi kita. Atau sebutlah falsafah “Time is Money” menjadi bagian integral filosofi hidup kita sehingga sukses menggusur falsafah gotong-royong keguyuban. Hingga sampai kepada perubahan dramatis dari sanepan“mangan ora mangan sing penting kumpul”menjadi “kumpul ora kumpul sing penting mangan”

Tanyakanlah kepada anak-anak muda kita akan masa depannya. Jawabannya mungkin bervariasi, meski secara substansial sama saja. Mereka mendambakan untuk kerja di kantor mewah, punya jabatan struktural tinggi di kantor, punya banyak bawahan yang bisa di suruh-suruh, dapat gaji besar, sehingga dapat menggenggam semua kemegahan dunia di tangannya. Tidak ada yang mau bekerja tanpa imbalan. Dan menurut mereka inilah sikap yang lebih profesional.

Namun situasi seperti itu akan berbanding terbalik bila anda terbiasa bergaul dengan para pelaku program pemberdayaan terbesar di negeri ini yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan. Sering kali akan kita dengar nasihat yang sangat manis, penuh kemuliaan dan menjanjikan pahala yang berkelipatan. Ayat-ayat Tuhan di gunakan untuk mendorong para pelaku program agar memiliki derajat kemuliaan.

Bapak-bapak negara itu sering menasihati,”Bekerjalah kepada masyarakat dengan muatan ibadah,dengan rasa ikhlas, rasa syukur, penuh kasih, sehingga dapat membantu saudara-saudara kita yang kurang beruntung.

Atau ada nada lain yang hampir mirip.

”Sesungguhnya telah di janjikan kepada surga bagi siapa saja pejuang untuk membantu orang-orang miskin. Maka berbahagialah dan berbanggalah”

Tidak ada yang salah dari itu semua. Hanya terkadang kita kurang luas dan sering kali terjebak kesempitan memandang apapun dari perspektif pembenaran subjektif. Di tengah dunia materialistis ini sungguh sangat ironis bila kita buta tuli melihat alam sekitar kita yang langkah kakinya sekian jauh di depan cara berpikir kita.

Bahkan Muhammad Rasullah juga berkata,” Berikanlah haknya orang yang sudah bekerja sebelum kering air keringatnya”. Dan Kanjeng Nabi mengajarkan tentang sebuah keseimbangan bekerja, sebuah timpal balik dan rasionalitas kehidupan.

Kang Ahmad sebagai pelaku pemberdayaan sering uring-uringan, nggrundel, jengkel dalam hati kepada bapak-bapak Negara itu.

“Saya di tuntut bekerja kepada masyarakat dan tidak boleh menerima bayaran,” Tapi ente ngomong fasih soal pemberdayaan tapi punya mobil lima hanya bermodal omong soal pemberdayaan.!!”

“Memang bekerja kepada masyarakat menjanjikan pahala yang berlimpah ruah dari Tuhan. Tapi itu akan batal, jika nasib keluarga yang menjadi tanggungan kita juga menjadi terlantar”.[]

Gilang Prayoga

Bobotsari, 5 Oktober 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun