KESEDIHAN DI HARI KEMENANGAN
"Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar. Lailahailallahu Allahuakbar, Alla huakbar walillahilhamd." Suara itu mengalun indah di gendang telingaku. Aku merasakan kesejukan menghampiri hati ini.Â
Setetes air mata bening mengalir dari mataku, hingga sedikit membasahi baju baru yang baru kemarin Umi belikan untukku. Setelah acara makan-makan selesai, aku segera bergegas mencari Umi untuk meminta maaf atas apa yang telah aku perbuat selama ini.Â
Panggilan teman-teman tidak aku gubris sama sekali. Karena aku lebih memilih untuk bertemu dengan Umi terlebih dahulu. Entah kenapa, pagi ini aku ingin sekali menemui Umi, bahkan rasanya tidak mau jauh-jauh dari Umi.
Biasanya, setelah shalat ID aku langsung bergabung dengan teman-teman. Seperti kebiasaan yang sudah sering kami lakukan, yah... datang kerumah tetangga sekitar untuk bersalaman dan mengharapkan uang yang memang sudah biasa mereka berikan ketika ada yang bertamu. Â Tumah sesepuh yang biasa kita datangi terlebih dahulu. Ada Ki. Gedeg, Ki. Keddel, Ki. Santra, Nyi. Beyem, Nyi. Penang, Nyi. Sambe, dan Nyi. Adet.
Tapi, pagi ini, aku tidak memikirkan hal tersebut. Aku lebih tertarik hanya unutk bersama Umi, tidak ingin jauh-jauh dari Umi. Entah kenapa, aku tidak tahu kenapa aku tidak ingin jauh-jauh dari Umi.Â
Aku melihat Umi melangkah menjauh dari kerumunan menuju rumah bersama adikku, Dian. Aku berjalan cepat menyusul Umi di depan. Di tengah perjalanan Umi berhenti, karena ada salah satu tetangga Umi memanggilnya.Â
Kemudian mereka duduk di bawah pohon jambu yang memang sudah tersedia tempat duduk di dekatnya. Aku menghentikan langkah kakiku, karena aku tak ingin mengganggu pembicaraan mereka.
Hatiku menjadi sejuk, saat melihat senyum Umi yang mengembang di bibirnya. Bagiku, saat Umi tersenyum dia kelihatan cantik sekali, di tambah dengan lesung yang menghiasi kedua pipinya.Â
Umi bagaikan bidadari yang dikhususkan untuk merawatku. Dian menunjuk ke arahku, yang kemudian disusul oleh pandangan Umi dan temannya. Umi hanya mengangguk menjawab permintaan Dian untuk menghampiriku. Dian berlari menuju ke tempat aku berdiri.
Dian adalah adikku satu-satunya. Aku sangat menyayanginya. Kadang kemana aku pergi pasti Dian akan ikut denganku. Kini Dian mulai mengurangi kecepatan larinya.