Mohon tunggu...
Pitoresmi Pujiningsih
Pitoresmi Pujiningsih Mohon Tunggu... -

In Caffeine We Trust!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluarin di Dalem"

28 September 2011   23:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:31 17161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini cerita tentang kejadian dua hari lalu. Maaf, bukan cerita jorok seperti judulnya. Malah kebalikannya.


Jadi begini…


Saat itu siang gerah di pojokan Jakarta dan sayangnya saya harus keluar kamar menyelusur aspal demi menyambung napas-satu hal yang paling dihindari mahluk nokturnal berkaki dua seperti saya. Beberapa mbak-mbak dan siswi SMU yang semuanya berjilbab menaruh pantat di sebelah saya pada jok Metromini 72. Mereka lumayan berisik, cicit-cuwit cekikikan nggak penting, menafikan kemacetan lengas yang meresap masuk dari celah jendela dan pintu terbuka. Lalu seorang penjual stiker melompat naik, membagikan dagangan yang dia sebut "murah meriah", yaitu dua lembar kalimah suci tentang nama dan kebesaran Tuhan.


Tak lama kemudian bis terguncang-guncang memasuki mulut terminal. Penjual stiker yang selesai memunguti kembali dagangannya dari para penumpang berdiri di depan saya. Bibirnya melontarkan senyuman nakal sementara matanya memandangi perempuan-perempuan di sebelah saya.


"Enak kayak gini ya Neng, dikocok-kocok terus keluarin di dalem," komentarnya, masih dengan senyuman menjijikkan dan tatapan mesum. Saya menengok ke arah matanya menatap. Perempuan-perempuan itu berhenti bicara. Mereka hanya membuang muka, jengah. Ketika mata saya kembali ke penjual stiker, dia masih saja tersenyum cabul.


Darah saya mendidih mendengarnya. Mulut dan otaknya sepertinya harus diberi beasiswa supaya pintar. Sepersekian detik kemudian dia menoleh ke arah saya. Tak tahan dengan rautnya yang saat itu sebentuk dan sebangun dengan tai, saya tunjuk mukanya sambil berkata, "Bapak belom pernah digampar ya ngomong begitu depan perempuan?"


Saya bisa lihat selirit kemarahan bercampur kaget di sorot matanya yang lekat-lekat saya pelototi galak. Saat itu jadi semacam show of force, saya tak boleh melepaskan kontak meskipun sejenak setelah mengucapkan itu saya jiper. Ini terminal. Saya sendirian sementara si pak penjual itu bisa saja memanggil rekan-rekannya. Skenario terburuk adalah saya dikeroyok. Tapi kepalang basah lah. Dan bapak itu menyerah. Dia meminta maaf.


Saya turun sambil tak lupa menitipkan pesan padanya.


"Besok ngomong gitu lagi, Pak. Tapi jangan nyalahin perempuan ya kalo Bapak pulang tinggal nama."


Saya akui tindakan saya ini kepreman-premanan. Tapi saya muak jadi korban pelecehan. Dan saya bosan diam. Beberapa kali saya diraba penumpang lelaki di sebelah saya di bis antar kota. Saya tak berani berteriak karena kendaraan sedang membelah jalan yang kanan-kirinya hutan dalam pekatnya malam. Saat itu saya juga menghitung kemungkinan backfire, ketika reaksi para lelaki jahanam itu adalah "eh, anjing! Ngapain juga gue grepe-grepe cewek karung goni macem elu?!" (Saya pernah mendengar cerita perempuan korban pelecehan yang pelakunya berteriak balik seperti ini. Walhasil dia hanya menjadi bahan olok-olok penumpang satu bis dan mentalnya jatuh, lama setelah kejadian itu berselang). Saya juga pernah diraba oleh pengendara motor yang berhenti di samping saya yang sedang berjalan pulang di suatu dinihari lalu tancap gas meninggalkan saya yang terlalu kaget hingga memakipun saya tak sanggup.


Belakangan ini santer terdengar berita tentang pelecehan seksual di angkutan umum. Dan orang-orang menyalahkan pakaian yang dikenakan si perempuan karena dianggap terlalu "mengundang". Mari saya beritahu: dalam semua kejadian yang saya alami, saya bahkan mengenakan jins dan sweater panjang tertutup. Jadi, bukan salah perempuan jika dia diraba. Tapi salahkan otak lelaki yang tak bisa mengendalikan syahwat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun