Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sunyinya Aura Merdeka di Kampungku

17 Agustus 2017   17:36 Diperbarui: 19 Agustus 2017   14:25 2969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampungku, kira-kira sejam setelah detik-detik kemerdekaan (Dokumentasi Pribadi)

Sekira seminggu yang lalu, perlahan semua warga telah mengibarkan kain suci dua warna, bendera merah putih. Semenjak ditancapkan di pekarangan, bulir-bulir hujan senantiasa menghujam, memberi gigil dan bahkan tak jarang gigilan belum sirna, giliran badai yang menghentak kejam.

Pagi 17 Agustus 2017, suasana begitu adem, pasalnya embun menyelimuti dinding-dinding keropos dan atap-atap berkarat rumah warga. Kendati begitu, orang-orang terus berlalu-lalang, pergi mengais remah-remah materi demi hasrat tinggi merayakan kemerdekaan yang hakiki.

Sunyi, iya sunyi sekali, selain pemasangan bendera tidak ada pernak-pernik perayaan kemerdekaan, seperti halnya yang kita tahu---mungkin mereka tak pernah tau, atau memang tidak mau tau, juga mungkin tidak merasa levelnya untuk merayakan lebih.

Pada saat detik-detik kemerdekaan, di tengah cuaca yang berawan aktivitas kampung begitu sepi, selain Merah-Putih yang terus bergeliat diterpa angin kencang yang tak tentu arah, hingga nyaris roboh. Bukan menunggu proklamator kekinian membacakan ikrar merdeka. Juga bukan menghayati glamornya merdeka yang sudah melangkah 72 tahun. Bukan!

Melainkan mereka sedang khusuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri, di ketinggian areal pertanian dan hamparan sawah. Sedang berperang. Mereka sama sekali belum merdeka.

Di Pendopo-pendopo megah, jiwa-jiwa yang merasa---ada juga memaksa diri merasa---merdeka sedang meresapi bait per bait kata-kata yang sudah diakui pendahulu kesakralannya. Mereka tunduk atau seolah tunduk.

Sedang di gubuk-gubuk riskan kebun, mereka menyepi, berlindung melepas lelah sambil meracik setrategi perang melawan serangan musuh di medan tempur, lahan. Sedang Komandan Strategi Perang---Penyuluh---mereka yang sudah dibayar tak kunjung datang. Mereka sangat rindu walau hanya sebatas bertegur sapa.

Juga di gubuk reot sawah mereka tepekur, berlindung melepas penat sambil menyusun siasat perang melawan serangan musuh di medan tempur, sawah. Dan sudah lama sang Komandan tidak unjuk gigi. Apalagi memberi rumus menaklukkan musuh.

Bukan dengan Kumpeni mereka sedang berperang. Tapi, dengan perampas modal kemerdekaan badan dan jiwa, di antaranya: hama dan harga tani, juga harga kebutuhan seperti roket yang siap meluluh lantakkan benteng jadi penyudut tambahan. Mereka terus mengangkat senjata.

Mereka memang tau telah dinyatakan pendahulu kita merdeka. Tapi karena jiwa-jiwa mereka dipaksa musuh takluk hingga badan semakin ringkih. Maka mereka terpaksa menunda perayaan. Tentunya, sebelum berusaha menepis penjajah yang beringas menembakkan peluru ke dinding hati serta akhirnya berdampak pada badan.

Sementara mereka terus berjuang. Lahu kebesaran di pusat perayaan didendangkan penuh semangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun