Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis Opini Beda Jauh dengan Menulis Hoax

23 Februari 2017   11:20 Diperbarui: 23 Februari 2017   20:00 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Opini itu sama seperti pendapat. Sebagaimana orang yang berpendapat, penulis opini juga berhak atas 100 % subyektifitasnya. Tetapi, subyektifitas itu harus berdasarkan obyek yang jelas. Kalau obyeknya tidak ada, sama saja dengan menulis hoax.

Katakanlah, meja adalah obyeknya. Setiap orang bebas berpendapat tentang meja tersebut sesuai dengan sudut pandangnya. Ada yang beropini ukiran pada meja tersebut unik. Ada juga yang menilai ukiran pada meja tersebut buruk  Tapi meja sebagai obyek opini atau pendapat harus ada.

Kalau meja yang diopinkan itu tidak ada itu sama saja dengan berilusi. Masalahnya, kalau ilusi atah khayalan itu menyangkut nama baik seseorang, pasti berpotensi menuai gugatan.

Beropini pun harus tetap sesuai dengan informasi yang diterima. Saat mengaitkan Sandiaga Uno dengan Dewi Persik, misalnya, tidak bisa hajar bleh dengan menulis “Sandi meminta Dewi telanjang”. Tapi, harus tetap menggunakan “dugaan”, “gosip”, atau “pengakuan”.

Rerata penulis di Kompasiana ini sudah tahu benar tentang ancama pidana yang mengintainya. Karenanya, rerata penulis di Kompasiana selalu berusaha untuk berhati-hati dalam setiap menyampaikan opininya. Selain itu, rerata penulis di Kompasiana pun menyampaikannya dengan cara yang beradab. Sesengit-sengitnya penulis di blog keroyokan ini melontarkan serangan, tetap masih dalam kerangka kesantunan.

Sebagaimana pendapat, opini pun boleh salah. Kalau ada informasi dari BMKG tentang  hujan yang akan turun pada sore hari, tentunya orang akan menyiapkan payung. Kalau pun hujan pada sore itu tidak turun, orang yang membawa payung tersebut tidak bisa disalahkan. Justru salah, kalau tidak membawa payung.

Masalahnya, hoax bukan hanya karena ada tidaknya obyek. Tapi pada kebenaran obyek itu sendiri. Contohnya foto-foto tentang gelaran Pilgub DKI 2017. Ketika foto-foto itu diinformasikan sebagai bukti kecurangan, maka dari foto-foto itu lahir sejumlah opini tentang telah terjadinya kecurangan. Tidak cukup sampai di situ, tuduhan kecurangan pun diopinikan dilakukan oleh lawannya.

Padahal, kalau mau memanjangkan sedikit saja sumbunya, netizen tidak akan menelan mentah-mentah informasi berupa foto yang memviral tersebut. Misalnya, tentang foto yang menampakkan tumpukan surat suara yang ditaruh di bawah meja petugas KPPS. Foto itu langsung diopinikan sebagai bentuk kecurangan pemilu yang dilakukan oleh petugas KPPS. Katanya, petugas KPPS menyembunyikan tumpukan surat suara tersebut untuk menggembosi suara paslon yang dibelanya. Lantas, foto tumpukan suara tersebut dikaitkan dengan kurangnya surat suara.

Padahal dengan sedikit menggunakan akal saja, sangat tidak mungkin petugas KPPS menyembunyikan surat suara, apalagi sampai bertumpuk-tumpuk bendel surat suara. Karena surat suara pada Pilgub DKI itu terbilang tipis, maka dari foto yang beredar tersebut diperkirakan ada seratusan surat suara yang disembunyikan.

Bagi yang pernah menjadi petugas KPPS (di Kompasiana ini ada banyak penulis yang pernah menjadi anggota KPPS. Malah, Pebrianov mengaku pernah dua kali mengabdikan jiwa raganya bagi bangsa dan negara sebagai anggota PPS) pasti tahu persis kalau menyembunyikan surat suara, lantas menjadikannya alasan untuk mengatakan kalau surat suara sudah habis adalah hal yang paling mustahil.

Karena total surat suara yang diterima oleh TPS harus sama dengan surat suara yang terpakai, surat suara sisa, dan surat suara rusak. Jadi, jangankan sampai bertumpuk-tumpuk, satu surat suara saja yang disembunyikan pasti akan menimbulkan masalah saat pengisian C1. Dan, C1 ditandatangani bukan saja oleh seluruh petugas KPPS, tetapi juga seluruh saksi dari kontestan pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun