Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menanti Pertarungan Pilkada di Media Sosial

24 Oktober 2016   22:01 Diperbarui: 25 Oktober 2016   11:15 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tiga pasangan peserta Pilkada DKI Jakarta. (Sumber: kompas.com)

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta resmi menetapkan tiga pasangan Cagub dan Cawagub peserta Pilkada Serentak 2017. Siapa saja mereka, tentu kita sudah tahu. Merekalah “triple A : Ahok, Anies, Agus”. Dan seperti Pilkada sebelumnya, jauh hari sebelum hari penetapan, lembaga-lembaga survei lebih dahulu menyodorkan hasil siginya terhadap “triple A” beserta pasangannya.

Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) misalnya menegaskan, para pemilih “Ahok – Djarot” kurang banyak yang berasal dari kalangan muda. Untuk pemilih berusia 19 tahun ke bawah, pasangan petahana “Ahok – Djarot” cuma mendulang 27% suara pemilih, atau keok bila dibandingkan “Agus – Sylvi” (33%), dan “Anies – Sandi” (30%). Catatan: Prosentase ini dibulatkan.

Masih di kalangan pemilih muda, rentang usia 20 – 29 tahun. Duet “Ahok – Djarot” juga belum sanggup menandingi kedua pasangan pesaingnya. Karena, “Ahok – Djarot” cuma memperoleh 22%, atau sedikit mengungguli “Anies – Sandi” di urutan paling buncit dengan 21%. Sedangkan pesona pasangan “Agus – Sylvi” di kalangan anak muda begitu apik lantaran meraup 28%.

Okey? Pada dua rentan usia pemilih muda, menurut survei LSI, “Ahok – Djarot” klepek-klepek kibarkan ‘bendera putih’ di sudut ring.

Tapi, bukan “Ahok – Djarot” namanya, kalau gampang menyerah. Karena, para pemilih duet petahana ini di rentang usia 30 tahun ke atas justru leading dan jauh melesat tinggalkan dua pesaing.

Hitungannya, untuk usia 30 – 39 tahun (“Ahok – Djarot” dapat 29%, “”Anies – Sandi” peroleh 26%, dan “Agus – Sylvi” cuma 19%). Bahkan, pada suara pemilih berusia 40 – 49 tahun raihannya lebih gede lagi. Karena “Ahok – Djarot” dapat 41%, ”Anies – Sandi” peroleh 15%, dan “Agus – Sylvi” cuma 11%. Sedangkan, untuk pemilih berusia 50 tahun ke atas (“Ahok – Djarot” dapat 28%, sedangkang ”Anies – Sandi” dan “Agus – Sylvi” sama-sama mengoleksi 21%).

Saya membatasi kutipan hasil survei pada latarbelakang Usia (pemilih) saja. Meskipun sebenarnya banyak parameter lain yang disodorkan LSI. Seperti background Pendidikan, Pendapatan, Agama, Suku, Wilayah, dan Identifikasi Kepartaian.

Pertanyaannya kemudian, mengapa “Ahok - Djarot” kurang berhasil meraup suara kaum muda atau rentang usia 17 – 29 tahun? Sebegitu termarginalkan-kah Ahok oleh bayang-bayang Agus yang lebih punya greget sekaligus magnet di kalangan pemilih muda? Jawabannya, pasti macam-macam, tergantung angle dan interest politik masing-masing. Tapi, kalau saya mau menjawabnya, hal ini lebih dikarenakan Ahok yang belakangan semakin hendak dicitrakan sebagai “musuh bersama” dengan “gempuran” tiada henti termasuk melalui media sosial. Sialnya, pengguna social media terbesar tak lain adalah lapisan anak muda. Termasuk para pemilih muda yang punya hak mencoblos kertas suara Pilgub DKI Jakarta, 15 Februari 2017 nanti.

Belakangan, “gempuran” yang dialamatkan untuk meruntuhkan citra Ahok makin beragam. Mulai dari sindiran “tukang gusur”, mulut “kasar”, lelaku temperamental, isu KKN, isu SARA termasuk dugaan menista agama. Bayangkan, setiap hari status-status di media sosial yang intinya “gempuran” seperti itu berseliweran tiada henti. Sementara, pasar media sosial yang notabene dikuasai anak muda, mungkin belum tanggap untuk secara bijak menyaring diri dari informasi yang tiada jelas sumber maupun asal-usulnya. Ya sudah, maka babak-belurlah suara “Ahok – Djarot” di kalangan pemilih muda.

Tentu, pendapat saya ini cuma asumsi belaka. Bisa salah, tapi juga barangkali benar. Asumsi lain? Mungkin karena Ahok kurang bergaul akrab dengan anak-anak muda. Sekalipun kita juga percaya, kalau komunitas Teman Ahok misalnya, adalah kebanyakan anak-anak muda yang sadar akan hak pilihnya, dan rela memberikan suaranya untuk mendukung sang petahana. Tapi itu saja belum cukup. Karena, pemilih muda ada di kampus-kampus, di komunitas-komunitas hobi, di ruang-ruang diskusi, dan utamanya ada di social media.

Lokasi terakhir dari kerumunan anak muda itu yang penting, yaitu di media-media sosial. Menggunakan gawai cerdasnya, mereka berselancar menyimak musik, menonton video, membaca status, termasuk meluangkan waktu sejenak mematut-matut informasi gosip, hoax sampai perkembangan paling aktual menggunakan daftar trending topic.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun