Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Selamat Hari Ayah, 9 Mei!

9 Mei 2013   23:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:50 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mengenal hari ibu di Indonesia yang dirayakan setiap tanggal 22 Desember. Sedangkan Jerman merayakan hari yang sama pada minggu kedua bulan Mei. Tahun 2013 ini akan jatuh pada tanggal 12 Mei nanti.

Laahhh, kalau hari ibu, ada tidak hari bapak, ya? Wooo, ternyata ada, tho? Jaman saya kecil, belum pernah dengar. Kini, dengar-dengar dirayakan pada tanggal 12 November di tanah air (meski belum terdengar gaungnya?). Di Jerman, Vatertag/Männertag sudah turun temurun dirayakan setiap tanggal 9 Mei sejak akhir tahun 1900an.

Perayaannya mulai dari pembebasan akivitas bagi kepala keluarga, hadiah untuk ayah, jalan-jalan para bapak dan atau bersama keluarga, Grillfest (red: pesta bakar-bakar/nyate), sampai makan dan minum sepuasnya.

Beginilah pengalaman kami menikmati hari bapak Jerman.

[caption id="attachment_260118" align="aligncenter" width="485" caption="Festival barbecue pada hari ayah"][/caption]

***

Hari ayah, 9 Mei

Jedeeeeer. Hari Kamis, 9 Mei 2013. Saya ingin tinggal di rumah saja, merapikan folder gambar di komputer dan tentu … pekerjaan rumah tangga yang masih menumpuk. Tapi, karena suami sudah membuat janji dengan seorang bapak yang lain untuk wandern (red: jalan-jalan, menyusuri alam yang indah seperti hutan dan rerumputan) … akhirnya kami ikutlah.

OK, hari ini hari ayah. Menyenangkan bapak, deh. Jalan-jalan 3 km, finalnya makan di resto tradisional di Hüfingen. Tarikkkk.

Langit memang sangat abu-abu. Wah, sudah dingin tambah rintik hujan segala. Waduh, bagaimana ini acara jalan-jalannya? Kami siapkan dua jaket; yang tipis dan satunya lagi anti hujan. Seperti pindahan.

[caption id="attachment_260119" align="aligncenter" width="475" caption="Jalan-jalan menikmati alam, di hari ayah"]

1368115811293023749
1368115811293023749
[/caption]

Usai menjemput sepasang suami-istri, kami berjalan menuju tempat yang disepakati. Duh, namanya anak kecil, reweeeeellll. Ini yang bikin paling tidak nyaman. Belum lagi anak ragil yang kendi bocor. Hehehe … tuh, siram bunga dan rumputnya, Nak. Pasti suburrr. Kan tidak ada toilet. Currr.

Setelah plang batas kota kami lewati, di seberang sana, berdiri tenda besar. Oooo banyak orang lagi merayakan hari ayah dengan makanan Amerika, jelas tetangga. Baunya … hmmmm … “Te-sateee!“ Jadi ingat tukang sate lewat di kampung halaman di Semarang.

Disebuah bukit sebelah kiri, banyak para bapak yang bermain paragliding dan mainan pesawat kecil pakai remote. “Ibu kemana, Pak? Tidak diajak … “ Begitu seakan pikiran saya sembari memandangi mereka.

Lalu-lalang orang-orang yang jalan kaki menyapa kami. “Selamat hari ayah!“ Begitu sapa mereka. Sama-sama, deh.

Oi. Bekicot, serangga, cacing banyak yang merambat di jalanan. Lagi manggil hujan pow, ya? Demi mengalihkan perhatian, kedua anak perempuan kami mengamati bekicot; mana yang raja, mana yang cantik, mana yang baby …. Seru.

Tak terasa, perjalanan usai. Horeeeeeeee … itu restorannya di depan mata. Kemudian … kruuuk … kruuuuk … kruuuuk, begitu bunyi perut keroncongan. Xixi. Malu, ah, tadi kan sudah sarapan? Mungkin dari jalan kaki, kantongnya melarrr.

Segera kami bersembilan memesan minuman dan makanan. Jus jeruk, bir, cola, kue apel,kue cherry, sup sapi, Vesper (red: roti/Bauern Brot dan irisan beragam daging, salami, bawang bombay). Hammmm. Sikat sampai habis.

Sajian musik tradisional

“Pak, banyak bapak-bapak datang pakai pakaian tradisional sama alat musik, mau nyanyi ya?” Tanya saya pada suami. Pria saya mengangguk.

“Haduh, semoga jangan deh“Seorang ibu muda yang membawa balita umur 8 bulan di sebelah kanan saya itu khawatir dan geleng-geleng. Sewaktu saya tanyakan sebabnya ia tidak suka mendengar pertunjukan tradisional gratis ini karena nanti anaknya menangis, si wanita mengangkat bahu. Loh, jadi? Entahlah, mungkin namanya anak muda, dimana-mana sama. Tak hanya anak muda di Indonesia yang justru mencintai musik Amerika misalnya daripada musik daerah, ternyata anak muda di Jerman juga sama. Ana kancane, ada temannya. Hehe.

[caption id="attachment_260120" align="aligncenter" width="504" caption="Sepuluh ayah berbaju tradisional, nyanyi."]

13681158831073577394
13681158831073577394
[/caption]

Musik segera mengisi gendang telinga 30-an pengunjung restoran. Aih, pakai baju tradisional (celana kulit, kemeja kotak-kotak, kaos kaki putih dan sepatu kulit). bapak-bapak berumur itu makin chic dan ganteng tenan. Xixi. Bangganya mereka memainkan musik harmonika dan gitar. Yang lain menarik suara dan bergoyang ke kiri kanan. Ramai.

Salah satu lagu dari puluhan lagu yang dinyanyikan, amat saya kenal, yakni “Ein Prosit … ein Prosit für gemütlichkeit … proooss … proooos … prossss“ (lalu mengangkat bir ke atas lalu ditenggak, biasa dinyanyikan pada hari ultah dan pesta lain) dan saat mereka yondeln (?) “Oyoleihi-hi-hi … oyoleohi … “ tak ubahnya cengkok sinden Jawa melengking dan meliuk-liuk di tenggorokan. Heboh, ahhh.

[caption id="attachment_260122" align="aligncenter" width="523" caption="Hari ayah dengan Segweg, pakai baterei."]

1368116029800701527
1368116029800701527
[/caption]

Setengah jam bernyanyi, kami keluar. Merekapun menghabiskan minuman yang dipesan. Tanpa makan. Ketika kami sedang mengamati bapak-bapak yang jalan-jalan pakai Segweg (red: alat transportasi beroda dua dengan sebuah setang panjang sebagai kemudi). Merekapun pergi meneruskan perjalanan, disusul sepuluh pria berbaju adat yang keluar dari resto menuju Wohnwagen (red: rumah mobil). Dadaaaa ….

Harpitnas

Begitulah acara hari ayah. Dulu memang banyak bapak-bapak yang memanfaatkan hari ini untuk bersenang-senang sesama bapak. Dalam perkembangannya, ada juga yang membawa keluarganya (istri dan anak-anak).

Beberapa sekolah meliburkan muridnya, hingga memberlakukan Brücketag (red: harpitnas). Karena hari ayah jatuh pada hari Kamis, Jumatnya diliburkan. Jadinya asyik, bisa memanfaatkan akhir pekan yang panjang sekeluarga, begitu barangkali mikirnya. Wee, saya kira hanya Indonesia yang punya hari kecepit nasional.

Konon, peringatan Vatertag ini dijatuhkan pada hari kenaikan yesus kristus yang memang sudah lama dirayakan sebagai hari libur nasional Christie Himmelfahrt di Jerman. Kemudian setelah mengetahui perlunya hari ayah diadakan, setara dengan pengadaan hari ibu setiap tahunnya, muncullah tradisi hari ayah ini. Emansisapi pria.

Ayah juga harus dihormati

Di Jawa, banyak anak yang takut pada orang tua khususnya ayah. Kalau matanya sudah melotot, tanpa kata-kata saja sudah tunduk. Anak jaman sekarang mungkin beda bahkan ada orang tua yang mengatakan “Kuwi anak apa penyakit?” atau itu anak apa penyakit, kok membuat sakit hati dan kepala pening.

Apalagi di Jerman. Hahaha, mana suami saya itu ya, jaraaaaang banget marah. Pak, mbok marahi anak-anak kenapa, sih. Jangan jaim ah. Sampai saya ini yang cerewet, dijuluki belahan jiwa saya sebagai “lokomotif” tuuut … tuuuuut … tuuuuuuut, begitu barangkali bunyi saya kalau lagi ngomel (pada anak-anak), ditelinganya. Xixixi.

Ya biarlah, Pakkkk. Anak-anak jadi menurut. Kalau didiamkan nanti jadi jambu mete, harus diarahkan,rajin diingatkan. Rak iya, tho, mas Bagus?

Dalam rangka hari ayah ini, saya tambah cerewet mengatakan kepada anak-anak untuk semakin hormat sama ayah.

Misalnya kalau ayah sedang capek jangan diganggu. Kalau sedang istirahat atau tidur, jangan dibangunkan kalau tidak penting sekali. Tidak boleh membentak ayah. Membantu ayah jika mampu. Ya. Melaksanakan perintah bapak sama halnya saat diorder ibu. Yo yo yoooo ….

***

Kami menikmati hari ayah kali ini. Selamat hari ayah bagi Kompasianer dimanapun sedang berada dan merasakan getaran dahsyat sebagai seorang ayah. Sukses, sehat dan bahagia.

Semoga kisah ini menggambarkan bagaimana orang Jerman merayakan hari ayah yang ternyata juga seheboh hari ibu. Profil ayah setara dengan profil ibu. Apa yang dilakukan ayah sama hebatnya dengan apa yang dilakukan ibu. Anak-anak di sekolah diajarkan membuat kartu dan prakarya untuk Vater, selaku kepala keluarga dan acara seru lainnya di beberapa tempat melibatkan para bapak, bahkan sekeluarga. Saya bilang, wow! Hayooo … sungkem, bapak, Nak. (G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun