Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nonton Wayang di Stuttgart, Bayar Seratus Ribuan

29 Februari 2016   20:45 Diperbarui: 1 Maret 2016   08:29 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Wayang kulit di Stuttgart, Jerman"][/caption]Sungguh pengalaman yang tak terlupakan saat nonton wayang Almarhum Ki Nartosabdo dari dekat niyaga, para pemain musik gamelan dan para sinden. Atau ketika bapak masih mayang dan ibu nyinden. Bukan karena profesi tapi sebagai hobi.

Selain itu, entah sudah berapa kali saya nonton wayang semalam suntuk. Mata pedes kayak kecolok sapu tapi tetep dipaksain melek. Biasanya malam minggu. Tahu kan anak jaman dulu, kalau diajak bapak ibunya pasti mau kalau nggak mau dibalang sandal.... Sekarang beda ....bocah saikiiii, beda.

[caption caption="Promosi wayang di Jerman"]

[/caption]Nah, kerinduan masa-masa nonton wayang dari dekat, massal, heboh dan gratis itu tinggal kenangan. Nggak enak nyalahin Muti Angela Merkel, wong beliau sudah pusing disalahin, diolok-olok orang sedunia (bukan hanya seJerman) gara-gara soal pengungsi dari Syiria yang menimbulkan dampak tak hanya positif tapi juga negatif. Budaya Jerman kan lain, jadinya wayang nggak subur tapi tetep ada kok, meski sak upil.

Ndalang di Jerman 1 jam-an 90 juta?

[caption caption="Linden Museum"]

[/caption]Hari Sabtu, 27 Februari 2016 adalah momen yang membanggakan karena kami nonton wayang kulit, yang dalangnya dari Inggris. Profesor Matthew Cohen bela-belain belajar dari ISTI Solo untuk jadi dalang di Jerman. Jadi, namanya, Ki Cohen atau Ki Matthew? Pentasnya kali itu tidak segampang yang saya kira karena meski profesor, ganteng, pinter, lucu ... Ia tidak langsung diterima oleh museum Jerman untuk pamer wayang hari itu. Butuh proses dan waktu yang panjang. Dalam goro-goro ia menyebut angka 6000€ setara 90 juta rupiah, untuk honor yang diterima. Katanya rahasia, mungkin joke yang disetor ke publik? Si dalang memang mencampur bahasa Jawa, bahasa Inggris dan bahasa Jerman dalam suluk atau pas mayang. Hahahaha, kamu lucu, Man .... Ngakak saya.

[caption caption="Ki Matthew dari London, Inggris"]

[/caption]"Mosok segitu?" Tanya suami saya.

"Lah emangnya, murah? Nggak gampang jadi dalang. Tahun 2010, kata bapak, pak Manteb dapet honor minimal 50 juta... itu 6 tahun yang lalu ..." Saya berusaha meyakinkan suami saya bahwa dalang bisa dapat duit kalo sudah tenar, kondianggg.

"Terus waktu kamu mitoni dulu kamu ambil duit di bank kita berapa, sama buat si dalang?"

"Yaaaa ... Tahun berapa itu ... Cuma 2-3 jutaan. Mana dalangnya dalang cilikkkkk. Bukan dalang betulan, laranggg." Seiring berjalannya waktu, saya kira tarif dalang dari cilik sampai yang sudah punya nama sekarang naik harganya. Betul?

Peminat wayang kulit Indonesia justru orang Jerman

Ok, kembali ke nonton wayang di Stuttgart. Undangan nonton saya dapat dari seorang warga kampung yang kerja museum di mana saya adain pameran foto bersama Kampret tahun 2013. Setelah reservasi tiket dua minggu sebelumnya, kami dapat email. Diberitahukan oleh panitia bahwa tiket diambil di kasir 20 menit sebelum acara dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun