Bapak saya pernah cerita, konon dulu ada yang namanya pelajaran budi pekerti. Pelajaran yang disinyalir mampu mendidik seorang anak dengan karakter yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan. Sehingga kalau sudah besar bisa jadi “orang“.
Hmm. Barangkali pada jaman saya sekolah, pelajaran yang mirip terselip dalam pelajaran seperti Pancasila, sosial dan agama.
Eh pelajaran agama? Tentu saja dalam pelajaran ke-Tuhanan itu memiliki kandungan nilai luhur dan agung.
Pelajaran Memuji, Muatan Lokal di Kelas Agama di Sebuah SD Jerman
Jadi ingat, suatu hari, anak bungsu pulang dari sekolah. Yaaahh, disuruh cerita apa yang dia alami di sekolah, walahhhh ... ia ceriwis seperti Prenjak dikasih makan. Kira-kira percakapan kami seperti ini:
“Hari ini ada pelajaran agama. Kami membahas tentang compliment“ Si gadis kecil membenahi ikat pinggang pengaman.
“Hah, komplimen? Bukannya itu urusan orang dewasa? Gimana tuh?“ Sambil nyetir, melirik dari spion.
“Compliment itu memberi sanjungan pada orang lain, khususnya teman yang saat itu diajak berkomunikasi.“
“Contohnya?“ Mami mau ngetes.
“Misalnya, aku disuruh memulai bu guru agama untuk mengucapkan sesuatu tentang kelebihan teman yang duduk di sebelahku, Jule. Aku bilang padanya, tulisannya lebih bagus dari tulisanku. Aku senang membacanya. Jule memuji teman lain, Sophie dan seterusnya.... “
“Bagus. Kamu dapat sanjungan apa?“