Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Besaran Uang Saku Anak Jerman Lebih Kecil dari Uang Saku Anak Indonesia?

13 November 2017   20:26 Diperbarui: 14 November 2017   01:19 2143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang 500 euro akan awet karena tak ada yang mau menerima kecuali bank (dok.Gana)

Jerman memberi uang sokongan bagi tiap keluarga. Anak pertama dan kedua mendapat 192 euro per bulan. Anak ketiga, 198 euro. Anak keempat, 223 euro dan semakin banyak anak, banyak rejeki karena uangnya semakin besar. Tahun 2018, naik lagi, euy. Dua euroan per anak.

Bagaimanapun, dana seperti itu tidak serta merta membuat orang-orang di Jerman niat punya anak banyak. Repot dan besar tanggung jawabnya punya anak banyak di negeri semaju dan sedisiplin Jerman. Apa-apa diatur, kalau nggak kuat, bisa stress bombay. Nggak percaya?

Orang Jerman mempunyai  pepatah kleine Kinder kleine Probleme, grosse Kinder grosse Probleme. Kalau punya anak kecil, masalah yang dihadapi ringan. Begitu anak sudah besar atau beranjak dewasa, kepala  berubah jadi kelapa ... menggelinding.  Tobat, hahaha.

Ya, sudah, sekarang saya mau membandingkan uang saku untuk anak-anak Jerman dengan anak-anak di Indonesia. Apakah di Jerman yang modern dan taraf hidupnya tinggi, uang sakunya lebih sedikit? Mengapa demikian?

Anak kami tidak bisa jajan sembarangan di sekolah dasar

Jaman SD, saya masih ingat diberi uang saku Rp 25,00 hampir setiap hari. Dari uang itu, saya biasa membeli krupuk gandum satu bungkus dengan saos merah darah A atau es atau bakso (patungan dengan teman-teman). Maklum, kelas kami ada di pojok sekolah. Jika istirahat, selalu melewati kantin sekolah. Jadinya ngiler kalau nggak jajan, bukan? Hahaha. Kenangan jadul.

Oh, ya, yang menarik luar gerbang sekolah, berjajar para pedagang kecil. Mulai dari yang jualan glali, mainan bongkar pasang, lekker, siomay, putu, gandos dan masih banyak lainnya. Karena nggak punya uang, ngeces saja. Lihat-lihat sambil sesekali pegang-pegang lalu pergi, pulang ke rumah.

Di SMP atau SMA pun, saya tidak dimanja dengan uang jajan atau uang saku. Pas atau bahkan seringnya kurang tapi yakin bahwa masa kecil saya sangat bahagia, nggak letoy.

Rupanya, ketika saya ke Indonesia Agustus lalu, suasana suka jajan seperti itu masih ada. SD di sebelah rumah orang tua saya, ada kantinnya. Di luar gedung sekolah? Tetap ada pasar jajan tiban. Artinya, pedagang hanya menjajakan jualannya ketika jam sekolah saja. Setelah itu, sunyi-senyap dan sampah di mana-mana. Byuh!

Namanya juga kangen, kadang saya ikut nimbrung anak-anak sekolah yang antri membeli jajanan Indonesia. Sekalian menunggu giliran dilayani penjual, saya iseng tanya-tanya anak-anak yang sedang antri juga.

"Dik, kamu lapar ya?" Selidik saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun