Mohon tunggu...
fxspirit_07
fxspirit_07 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kredibilitas Parpol Dipertaruhkan, Jalur Independen Jadi Solusi ?

7 Maret 2016   20:57 Diperbarui: 7 Maret 2016   21:22 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tergelitik untuk menanggapi artikel kompasioner Semuel S. Lusi Pdip, Gerindra Nasdem maukah jadi pioner transformasi parpol Indonesia, mudah-mudahan saya tidak salah memahami apa yang ditulis beliau.  Sejak orde lama sampai orde reformasi saat ini konstitusi kita masih menganut asas keterwakilan baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat.  Keterwakilan masyarakat diterjemahkan kedalam bentuk partai politik kemudian berkembang, dimana keterwakilan rakyat pun diterjemahkan dalam bentuk DPD.  Tetapi pada saat pemilihan kepala pemerintahan partai politik diberi kewenangan untuk mengusung calon tetapi DPD tidak punya kewenangan tersebut, namun konstitusi memberikan kewenangan kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan dirinya sendiri sebagai kepala pemerintahan daerah, kecuali untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

 

Pada artikel Semuel S. Lusi, beliau sepertinya mengharapkan ada partai yang mau berkolaborasi dengan sebuah gerakan masyarakat dalam hal pemilihan kepala daerah sehingga parpol tersebut menjadi pioner transformasi parpol.  Pemikiran Semuel S. Lusi kemungkinan besar muncul karena kasus menjelang pilgub DKI Jakarta yang sedang hangat diperbincangkan.  Frase transformasi yang merupakan serapan dari bahasa inggris "transform" bermakna "change from one form into another" atau dalam bentuk terjemahan bebasnya frase "transformasi parpol" berarti perubahan bentuk atau mungkin juga tujuan partai kepada bentuk atau tujuan yang lain.  Sepengetahuan saya lembaga parpol merupakan bentuk kasta tertinggi dalam dunia perpolitikan sementara kekuasaan merupakan tujuan dari dibentuknya parpol tersebut.

 

Posisi parpol dan DPD di lembaga dewan perwakilan rakyat diakui secara de jure dan de facto sementara posisi ormas, LSM ataupun komunitas tertentu dari masyarakat tidak lebih dari "masyarakat" yang mempunyai hak sangat terbatas terhadap lembaga dewan perwakilan rakyat tersebut.  Pada grafik yang disajikan oleh Semuel S. Lusi dalam artikelnya [caption caption="Artikel Kompasione Semeul S. Lusi"][/caption]

menurut saya justru menampilkan sebuah ironi dimana suatu lembaga yang secara eksplisit diakui di dalam konstitusi justru kehilangan kepercayaan publik.

 

Pada kasus pilgub DKI Jakarta terjadi perkembangan yang sangat dinamis, dimana arena perebutan kekuasaan diwarnai adanya suatu komunitas (Teman Ahok) yang seakan-akan memiliki posisi tawar yang sangat tinggi terhadap parpol yang menurut saya hanya fatamorgana semata.  Saya berani mengatakan demikian karena Teman Ahok ada karena figur Ahok, Teman Ahok tidak mempunyai peran secara langsung dalam sistem demokrasi yang kita anut, namun Teman Ahok mempunyai kekuatan yang sangat besar (moral) dalam mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh seorang Ahok (dalam bahasa sederhananya Ahoklah yang didikte oleh Teman Ahok, walaupun ini pun pasti disanggah oleh kedua belah pihak).  "Dalam kultur politik konevensional, modalitas kursi di DPRD merupakan rezim alat tukar ampuh untuk mendikte siapa pun yang berkeinginan menduduki kursi kuasa. Ahok tidak doyan dengan kultur usang tambal sulam itu."  menurut saya Ahok bukan tidak doyan tapi Ahok merasa diatas angin dengan keberadaan Teman Ahok tersebut.  Tanpa Teman Ahok, Ahok is nobody dalam dunia perpolitikan karena beliau tidak berpartai.

 

Semuel S. Lusi dalam artikelnya mencontohkan Nasdem yang berkolaborasi dengan Teman Ahok tanpa kehilangan idependensinya, menurut saya sikap Nasdem akan berdampak serius terhadap sistem demokrasi kita.  Jika hal ini berlangsung di setiap ajang pemilihan kepala daerah bisa mengakibatkan tingkat apatisme masyarakat terhadap partai politik semakin besar.  Fenomena ini harusnya jadi peringatan bagi parpol, karena tugas parpol itu menurut saya adalah melahirkan pemimpin bukan menemukan pemimpin.  Peran dewan perwakilan rakyat yang mendekati ideal menurut saya hanya pada masa orde lama, memasuki orde baru peran tersebut berubah menjadi lembaga stempel pemerintah sementara pada orde reformasi semakin parah karena peran dewan pada orde ini sepertinya hanya untuk dirinya sendiri.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun