Mohon tunggu...
Fatimah Arum Utari
Fatimah Arum Utari Mohon Tunggu... -

Belajar. Menerima kritik dan saran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Rumah Parno

19 Juni 2017   21:33 Diperbarui: 19 Juni 2017   21:34 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fajar datang bersama Mentari,  tersenyum bersama membuat semua yang ada di bumi terpesona dan menyapa mereka. Embun yang dengan nyaman tidur pun ikut terbangun "tes, tes, tes." mereka segera beranjak dari tempat ternyaman mereka. Begitu juga dengan penghuni kamar berdinding bambu itu.

 "Gedebuuk" Ia terjatuh saat bangun dari zona nyamannya dan ingin segera menyapa fajar dan mentari. Membuka jendela adalah aktivitas pertama yang wajib ia lakukan setelah ia bangun tidur demi melihat pujaannya itu. Begitu sejuk pagi itu, udara terhirup dan langsung terasa di tiap dinding hidung Laki-laki 35 tahunan itu. Matanya terpejam, menarik nafasnya panjang untuk merasakan sejuknya udara pagi saat itu.

Kegaduhan setiap pagi selalu terjadi di desa itu. Ibu-ibu sibuk membuat masakan, bertengkar dengan semua yang ada di dapur, suara "preng" "teng" dan "kluthik" selalu terdengar dan menjadi alarm bagi anak dan suami mereka. Kepanikan Anak-anak yang berlari dikejar jam 7 dan para bapak yang giduh mempertajam sabit mereka dan mencari para cangkul mereka. Namun berbeda dengan penghuni kamar berdinding bambu itu, ia dengan tenang melebarkan matanya dan hanya fokus pada pujaannya itu. Senyum menatap keindahan alam itu.

"Brok ! Brok ! Parno tangi le ! Subuh !"

Perempuan berkulit keriput menggedor pintu yang hampir rapuh mungkin akan jebol jika ia sekali lagi menggedornya. Dengan malas penghuni kamar tersebut meninggalkan tempat favoritnya yaitu jendela, dan beranjak meraih daun pintu dan keluar dari kamar. Tak banyak yang ia lakukan di pagi hari atau bahkan tidak ada yang ia lakukan, yang ia tahu hanya membuka jendela dan menyapa pujaannya. Ini waktu yang ia benci saat ia tidak tahu harus melakukan apa. Jika ia masih menjadi pelajar ia pasti akan pergi sekolah.

 Tapi Ia sudah tidak di bangku pendidikan lagi dan sudah mendapat kertas mahal itu. Kertas itu juga sudah ia sebar dari gedung yang bertingkat empat puluh sampai gedung tidak bertingkat, dari yang luasnya berhektar-hektar sampai yang luasnya  4 X 4 tapi sampai sekarang Hp buntutnya belum berbunyi. Kini ia hanya duduk sambil menikmati teh panasnya.

"Huh... Susahnya cari kerja... hidup kok susah banget biyen kepenak sekarang kok melarat koyo ngene to mbok.." Keluhnya.

"sudah to le... sabar aja ini cobaan buat kamu.. kamu seharusnya belajar dari kesalahan kamu kemarin jangan menyerah le.." ibunya menanggapi.

"Aku juga menyesal mbok, sudah mensiasiakan semuanya. Tapi aku sudah berubah sudah tidak akan seperti itu lagi dan aku juga sudah berusaha mbok, tapi kok.. " perkataan Parno terhenti ketika ibunya, Mbok Darmi memotong.

"sudah le.. simbok tahu kamu sudah berusaha dan berubah bukan seperti dulu.. simbok yakin pasti kamu akan mendapatkannya" ucap mbok Darmi lembut dan Parno pun hanya diam.

Menyesal, menyesal dan menyesal. Rasa itu terus memburu Parno. Membuat ia harus meminum obat sakit kepala setiap hari dan terus melamun meratapi kesalahannya. Ia begitu menyalahkan dirinya sendiri. Kenikmatan Teh membuatnya lagi dan lagi harus menuju pada pikiran yang mengusiknya dari tiga tahun lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun