Mohon tunggu...
Frederick Arthur
Frederick Arthur Mohon Tunggu... Freelancer - Laki laki

Mahasiswa Teknik Geofisika di Institut Teknologi Bandung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Balada Murid Baru

21 Juni 2019   02:03 Diperbarui: 21 Juni 2019   02:17 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Halo! Terimakasih sudah mau membuka tulisan ini dan semoga apa yang akan dibaca dapat membantu. Sebelumnya tulisan ini bukan merupakan surat terbuka atau kritikan terhadap pihak terkait, melainkan hanya sebagai wadah yang menaungi keresahan yang sedang terlintas di pikiran saya. 

Disclaimer lagi, tulisan ini murni pikiran saya tanpa meminta pendapat siapapun oleh karena itu untuk siapapun yang memiliki pendapat berbeda atau ingin menambahkan sangat dipersilakan.

Akhir - akhir ini sedang banyak dibahas perihal PPDB Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Yang mengakibatkan hangatnya isu ini ialah penerapan Permendikbud No. 51 2018 yang intinya berisikan tentang  penggunaan data jarak domisili dengan sekolah atau yang kerap disebut sebagai zonasi sebagai syarat untuk mendaftarkan diri. 

Persentase saat ini kira - kira sekitar 50% menggunakan zonasi murni, 20% bagi siswa yang berprestasi melalui nilai Ujian Nasional, dan sebanyak 30% dari jalur masyarakat kurang mampu, prestasi di luar Ujian Nasional dan pindahan tugas orang tua. 

Harapannya dengan adanya peraturan tersebut ialah meratanya kualitas pendidikan di seluruh Indonesia yang akan memotong rantai kemiskinan. Gubernur Jawa Timur, Khofifah, berpendapat bahwa sudah banyak negara maju yang mengaplikasikan peraturan demikian sedari dulu, oleh karena itu beliau mengajak masyarakat untuk bisa menerima dan menjalankan regulasi pemerintah tersebut. 

Peraturan tersebut sejatinya sudah matang secara konsep. Sudah saatnya kita mulai menghilangkan stigma "sekolah unggulan" dan menyetarakan standar pendidikan di seluruh Indonesia. Saya pribadi sangat setuju akan hal tersebut dan mendukung seluruh proses keberjalanannya. 

Oleh karena itu, munafik rasanya ketika saya berkata bahwa saya mendukung peraturan tersebut tetapi saya tidak mengutarakan apabila saya rasa ada kekurangan dalam pengaplikasiannya. 

Karena peraturan ini ditujukan untuk masyarakat, maka sudah sewajarnya apabila respon masyarakat dapat dijadikan sebagai parameter untuk menilai apakah peraturan tersebut sudah tepat guna dan efektif. 

Sayangnya, dari banyaknya kritik dan komentar negatif masyarakat menandakan bahwa peraturan ini belum dapat diterima di kalangan masyarakat. Kenapa hal ini terjadi? Menurut saya banyak faktor yang mempengaruhinya. 

Pertama ialah banyaknya masyarakat yang belum paham esensi dari adanya peraturan ini. Sudah menjadi kodrat manusia untuk takut terhadap hal - hal yang tidak dimengertinya. 

Peraturan ini dianggap sangat merugikan masyarakat karena berakibat hilangnya kesempatan anak - anak mereka untuk mengenyam pendidikan di sekolah idaman. Selain itu juga sudah tercipta stigma di masyarakat bahwa anak akan sukses apabila disekolahkan di sekolah yang terstereotip favorit dan tidak akan bisa melangkah jauh apabila masuk ke sekolah yang katanya kurang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun