Mohon tunggu...
Fransis No Awe
Fransis No Awe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta, Tradisi dan Iman dalam Film "Sayap Tersangkar"

27 Mei 2017   18:09 Diperbarui: 27 Mei 2017   18:19 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Film merupakan salah satu produk kebudayaan yang digunakan untuk menyampaikan gagasan, ajaran atau pesan kepada penonton. Film juga sebagai cermin untuk melihat kehidupan masyarakat, budaya, norma dan persoalan-persoalan sosial. Salah satu film yang merangkul kedua hal diatas adalah film “Sayap Tersangkar”, (2016).

Film Sayap Tersangkar (2016), produksi PusPas Keuskupan Waitabula-Sumba mengangkat realitas budaya dan sosial di pulau Sumba pada umumnya dan daerah Anakalang khususnya. Realitas budaya dan sosial ini dibingkai dan dimaknai dari perspektif ajaran gereja Katolik dalam satu narasi film. Perpaduan realitas budaya dan ajaran gereja dalam satu narasi menjadikan film ini enak ditonton dan pesan-pesannya mudah dipahami.

Film Sayap Tersangkar, berkisah tentang cinta antara Umbu, Rambu dan Sisil. Umbu berlibur di kampung halaman kakek neneknya (Bhoku dan Apu). Di rumah kakek-neneknya, Umbu berjumpa dengan Rambu. Pada suatu kesempatan, kakek (Bhoku) menjodohkan Umbu dan Rambu. Umbu maupun Rambu menolak perjodohan ini karena masih bersaudara (sepupu kandung). Tetapi dalam pandangan kakek, perjodohan itu sah karena budaya setempat mengakui perkawinan antara sepupu kandung (anak om) atau anguleba. Rambu menolak perjodohan itu karena ingin melanjutkan sekolah. Tetapi kakek tetap memaksa dan mendesak Rambu. Rambu kehilangan kebebasan untuk menentukan pilihannya, lalu menangis di pusara kedua orang tuanya dan pasrah mengikuti kemauan kakek.

Perjodohan Umbu dan Rambu ini ditolak oleh banyak pihak. Kedua orang tua Umbu tidak mengijinkan relasi cinta antara Umbu dan Rambu. Demikian juga pihak gereja melarang hubungan tersebut. Ketika cinta Umbu dan Rambu mengalami hambatan, Sisil muncul dalam kehidupan Umbu. Umbu menjalin relasi dengan Sisil hingga mengandung dan melakukan aborsi. Kemudian Umbu dan Sisil menjalani proses adat dengan keputusan membayar belis (mahar) sejumlah hewan. Namun sebelum urusan adat dan acara pernikahan digelar, Umbu melarikan diri ke tanah rantau.

Ada banyak dimensi yang sorot dalam film ini. Namun ada tiga hal utama yang menonjol dalam film ini dan perlu dianalisis. Pertama adalah persoalan cinta. Cinta Umbu kepada Rambu adalah cinta terlarang karena memang dilarang baik oleh gereja, kedua orang tua maupun oleh masyarakat luas. Mengingat status kekeluargaan Umbu dan Rambu masih satu garis lulus (satu kakek dan nenek). Gereja melarang pernikahan garis lurus (sepupu kandung) dengan beberapa pertimbangan antara lain; secara biologis anak yang dihasilkan kurang sehat. Disisi lain dalam terang iman, cinta kasih harus terbagi ke sesama yang lain bukan hanya dalam lingkaran keluarga. Kemudian cinta antara Umbu dan Sesil adalah cinta yang kurang matang. Mereka membangun hubungan bukan atas dasar cinta melaikan karena kesenangan sesaat yang mengakibatkan Sisil mengandung dan melakukan aborsi. Cinta model ini sangat rapuh dan mudah patah. Hal ini terjawab dalam akhir film, Umbu mengungkapkan kejujurannya ternyata ia tidak mencintai Sisil sepenuh hati.

Kedua; tradisi perjodohan. Tradisi perjodohkan telah membudaya dalam masyarakat sebagaimana yang diungkapkan kakek (Bhoku). Menurut Levi Straus, dasar hubungan sosial itu adalah pertukaran atau pernikahan. Pertukaran atau pernikahan merupakan hukum alam bagi kehidupan sosial. Tradisi perjodohan termasuk bagian dari pertukaran dan pernikahan yang mempunyai fungsi untuk membangun kekerabatan. Dalam paradigma Durkheimian, hal ini disebut fungsionalisme budaya. Dimana budaya atau tradisi perjodohan mempunyai fungsi untuk mempersatukan masyarakat dan menstabilkan kehidupan sosial maupun ekonomi. Perjodohan yang dilakukan sang kakek pun bertolak atas dasar ekonomi yakni agar harta warisan (belis; kuda, kerbau, tanah) tetap berada dalam trah keluarga.

Pemikiran fungsionalisme budaya seperti ini perlu dikritik dan harus didefenisi ulang seturut perkembangan sejarah dan konteks masa kini. Karena tanpa disadari kebudayaan ini telah menimbulkan korban yakni perempuan. Perjodohkan sama artinya membungkam suara kaum perempuan. Perempuan tidak mempunyai posisi tawar dan kebebasan untuk menentukan pilihan. Padahal hakikat budaya adalah menjunjung martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, perempuan harus diberi kebebasan untuk bersuara dan menentukan pilihan-pilihannya.

Ketiga adalah persoalan moral dan iman gereja. Film Sayap Tersangkar sebagai media alternatif untuk menyampaikan ajaran iman dan moral gereja seperti larang aborsi. Gereja melarang aborsi karena bertentangan dengan kehidupan manusia. Hidup itu milik Tuhan, bukan milik manusia. Tuhan yang memberi hidup maka manusia tidak mempunyai hak untuk menghilangkan kehidupan. Sebagai orang beriman, manusia harus membela hak-hak hidup, menegakan ajaran moral dan menjalankan nilai injili yakni cinta kasih kepada siapapun.

Meskipun film ini dibuat dalam perspektif ajaran Katolik, tetapi pesan dan ajaran moral melampaui sekat kekatolikan. Karena nilai-nilai yang digagas dalam film ini adalah nilai-nilai universal kehidupan manusia pada umumnya antara lain; menghargai kehidupan, menghormati martabat dan kebebasan perempuan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, pentingnya pendidikan juga anjuran untuk bersikap matang dalam memilih pasangan hidup.

Fransis No Awe; Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun