Mohon tunggu...
Frans Dione
Frans Dione Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan dan Pembicara

Pengajar dan Pembelajar Pemerintahan. Pengurus Pusat MIPI (Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU ASN: Mengapa Mandeg?

7 Januari 2013   06:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:25 2546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1357542444638171470

Sampai dengan masa sidang terakhir tahun 2012 pemerintah dan DPR ternyata tidak berhasil menyepakati RUU ASN menjadi UU ASN. Apabila dicermati perkembangan yang terjadi terdapat beberapa persoalan krusial yang belum disepkati. Bukan hanya antara Pemerintah dan DPR tetapi justru ketidaksepakatan itu terjadi antar instansi Pemerintah sendiri. Salah satu isu krusial RUU ASN adalah tentang  sistem penggajian pegawai. Ketua Tim Perumus RUU ASN Prof. Sofyan Effendi mengkritisi sistem penggajian selama ini yang hanya didasarkan pada sisa anggaran dan diatur oleh pejabat eselon satu di Kementerian Keuangan. Di mana tunjangan seorang aparatur lebih besar daripada gaji pokok. “Gaji pokok harus lebih besar dari tunjangan kinerja. Karena itu di dalam RUU ASN ditetapkan tunjangan kinerjanya tidak boleh lebih dari 15 persen,” ucapnya. (baca : http://setagu.net/berita/ruu-apatur-sipil-negara-asn-tunjangan-kinerja-maksimal-15-persen). Menurut penulis hal inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab mandegnya pembahasan RUU ASN di kalangan pemerintahan sendiri.

Terdapat dua persoalan besar menyangkut “penggajian ASN” yakni menyangkut sistem dan dasar penggajian dan yang kedua menyangkut besarannya?Pemberian gaji hanya berdasarkan sisa anggaran yang ditentukan oleh kementerian keuangan jelas-jelas tidak dapat dibenarkan. Hal ini akan memberikan ruang bagi kementerian keuangan untuk menentukan “gaji dan penghasilannya” mereka sendiri. Mau bukti? Lihat saja pemberian remunerasi yang dimulai pada tahun 2008 hanya dengan Keputusan Menteri Keuangan, yakni Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 289/KMK.01/2007 dan 290/KMK.01/2007. Pemberian “remunerasi” itu sangat fantastis seorang pejabat eselon 1 di kementerian keuangan menerima tunjangan kinerja sampai dengan 46,9 jt (ingat ini tahun 2008). BPK sempat mengkritik “kebijakan menetapkan gaji sendiri tersebut. Namun kritik BPK ini padam dengan pemberlakuan remunerasi juga di BPK. Jadilah pada tahun 2008 diberlakukan remunerasi di 3 Kementerian Lembaga yakni Kementerian Keuangan, BPK dan MA.

Konon katanya sebagai bagian kebijakan reformasi birokrasi pemberian remunerasi terus bergulir pada beberapa kementerian dan lembaga negara. Pada tahun terakhir 2012 ditetapkan pemberian remunerasi untuk 20 kementerian dan lembaga negara, semuanya ditetapkan dengan Perpres (Peraturan Presiden). Mengapa di Kementerian Keuangan cukup dengan Keputusan Menteri? Apakah karena Menteri Keuangan adalah juga Bendahara Negara? Berdasarkan pasal 7 ayat (2) mengenai kewenangan Bendahara Umum Negara, dari 19 kewenangan tidak  terdapat satu kalimat pun yang dapat dianggap atau ditafsirkan bahwa Menteri Keuangan dapat menentukan gaji dan penghasilan pejabat di lingkungannya sendiri. Jadi, argumen tersebut dengan mudah terbantahkan. Kementerian keuangan tampaknya khawatir bahwa apabila RUU ASN segera ditetapkan menjadi UU maka “model penetapan gaji sendiri” akan batal demi hukum.

Persoalan kedua adalah menyangkut besaran pemberian tunjangan kinerja sebagai remunerasi bagi para pejabat. Apabila ditetapkan maksimal 15%, maka hal ini jelas-jelas akan memangkas tunjangan remunerasi para pejabat di kementerian dan lembaga yang telah memperoleh remunerasi. Mereka akan kehilangan penghasilan yang telah mereka nikmati selama ini. Untuk diketahui bahwa besaran remunerasi di kementerian keuangan rata-rata 45% di atas gaji pokok, MA sebesar 70%, BPK sebesar 82%, di kementerian dan lembaga negara lain rata-rata di atas 40%.

MENPAN-RB mengatakan bahwa nantinya pemberian remunerasi bagi kementerian dan lembaga negara akan diberlakukan sama dengan yang sudah diberlakukan di Kementerian Keuangan yakni 45%. Apabila angka 45% ini dipakai sebagai patokan maka implikasinya akan sangat berat bagi APBN. Apabila remunerasi diberlakukan di semua kementerian lembaga maka akan menyedot anggaran sekitar 45 Triliyun, belum lagi kalau remunerasi itu juga diberlakukan di seluruh Pemda Propinsi, Kabupaten dan Kota anggaran yang dibutuhkan sekitar 225 triliun. Muaranya belanja pegawai akan semakin membengkak! Reformasi briokrasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja – termasuk belanja- ke publik justru akan sulit dicapai, disinilah letak tidak tepatnya kebijakan remunerasi! Kebijakan remunerasi yang seperti ini justru bertolak belakang dengan tujuan reformasi birokrasi. Belum lagi kalau berbicara masalah keadilan bagi sesama aparatur negara, semenjak kebijakan remunerasi ditetapkan nasib aparatur negara tidak sama lagi! “Ketidakadilan” ini justru akan semakin melemahkan semangat kerja aparatur birokrasi!. Jangan salahkan lemahnya kinerja mereka, tapi salahkan kebijakan yang telah melemahkan mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun