Mohon tunggu...
Fifi K. Fitriyah
Fifi K. Fitriyah Mohon Tunggu... Masyarakat Peduli -

Saya adalah seorang pembelajar yang selalu ingin berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Facebook: Fifi K. Fitriyah Email: fifi.fitriyah88@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Plagiarisme Tak Perlu Dihindari

26 April 2017   09:05 Diperbarui: 28 April 2017   03:00 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu ketika saya menemukan sebuah tulisan yang setema dengan tulisan yang pernah saya buat, “alurnya gue banget” gumam saya dalam hati. Tetapi lama kelamaan membaca, saya semakin kenal dan bisa memprediksi lanjutannya. Saya bisa pastikan, tulisan itu sama persis dengan tulisan saya. Bahkan sampai kesalahan ketik pada ejaan nama salah satu tokoh penulis buku yang saya lakukanpun saya temukan ditulisan itu. Mirisnya, nama saya sama sekali tidak tercantum di kutipan maupun daftar pustak tulisan itu.

Plagiarisme merajalela di mana-mana, dan perpustakaan adalah tempat favorit para plagiator untuk bertindak. Anda bisa buktikan sendiri, sesekali ketika mengunjungi perpustakaan cobalah masuk ke ruang karya ilmiah yang menyimpan skripsi, tesis, dan disertasi. Di sana anda akan menjumpai meja-meja yang dipenuhi mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir, mereka terlihat sangat serius dengan laptop mereka masing-masing. Mereka ternyata sedang asik mengetik ulang kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, yang telah disusun oleh para pendahulu mereka. Kalau sudah begini, bagaimana mereka bisa menjadi seorang profesional, tugas akhir yang seharusnya menjadi mahakarya mereka saja mereka contek dari para pendahulunya, sehingga tidak heran ketika kita menemui tulisan yang seragam bahkan hampir identik. 

Parafrase yang Menyakitkan Hati

Plagiarisme sebaiknya tidak untuk dihindari, sehingga tidak perlu muncul tips-tips membuat parafrase agar terhindar dari deteksi mesin plagiarism. Coba saja googling atau membaca buku-buku tentang “tips menghindari plagiarisme” yang telah banyak beredar, hampir semua tulisan menyertakan teknik parafrase di dalamnya.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan parafrase, bahkan parafrase justru dianjurkan dalam mengutip tulisan orang lain ketika membuat suatu karya ilmiah. Tetapi sayangnya, teknik ini lebih banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, oknum-oknum pemalas yang tidak memiliki sopan santun untuk memenuhi hasratnya.

Misalnya memparafrase suatu kalimat dari buku babon (buku asli) yang ada di tesisnya si A, tetapi di tulisannya yang dicantumkan hanyalah daftar pustaka buku babon itu saja tanpa ada daftar pustaka si A. Si A yang telah memberikan pengetahuan isi buku dilupakan begitu saja bahkan tidak dianggap keberadaannya. Menyakitkan bukan menjadi si A?.

Penulis seharusnya memiliki sopan santun dalam memparafrase. Ketika memang tidak membaca buku babon secara langsung tetapi menemukannya dari karya orang lain, penulis seharusnya mencantumkan nama orang itu misalnya, si Babon dalam si A (2017) mendefinisikan konseling adalah bla bla bla. Cara itu sangat mudah dan memudahkan kita bukan. Kita sudah terbantu untuk mendapatkan informasi tanpa harus menemukan buku babon secara langsung yang sering kali sulit diakses. 

Orang yang dikutip tulisannya tidak akan meminta imbalan dari kita, meskipun mereka telah memberikan manfaat bagi kita melalui tulisannya. Mereka hanya ingin dihargai, diakui hasil kerja kerasnya. Sebagai penulis, seseorang tidak boleh merasa “sok keren” seakan membaca sendiri buku babon lantas mengeliminasi penulis turunan dari daftar pustakanya, itu sama halnya dengan mencuri.

Saya kira untuk memahami tata cara mengutip agar tidak terjadi plagiarisme tidaklah susah. Yang susah adalah mengeliminasi niat jahat untuk tidak mencantumkan sumber aslinya demi menuruti gengsi dan mengubah kebiasaan menyalin yang telah dilakukan turun menurun sejak kita SD.

Generasi tahun 80-an termasuk saya sendiri, selalu diajarkan untuk menyalin baik dari buku maupun tulisan guru dari papan tulis. Seharusnya, budaya menyalin yang saklek seperti ini segera dihentikan. Peserta didik di sekolah sebaiknya diajarkan untuk memahami isi baru menuliskannya kembali ke buku catatan mereka, sehingga mereka bisa memahami tentang cara memproses suatu informasi bukan hanya sekedar menyalin.

MindsetTebal-tebalan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun