Mohon tunggu...
Firma Sutan
Firma Sutan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang ibu, pendidik dan penulis. Baru menghasilkan sekitar 40 buku, kebanyakan bertema matematika dan genre bacaan anak. Dia pun berbagi di firmasutan.blogspot.com dan pintarmatematika.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Aku Benci Mama!

23 Desember 2013   09:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No Peserta : 456

Sejak awal aku sadar kalau aku berbeda dengan anak-anak lainnya. Di rumah tak ada figur lelaki dewasa yang bisa kupanggil papa. Hanya ada figur dirimu dan sepasang kakek dan nenek, kedua orangtuamu.

Seingatku sejak kecil aku selalu memanggilmu teteh, panggilan seorang adik pada kakak perempuannya. Aku tak ingat kapan pertama kali aku memanggilmu seperti itu, bukan ibu atau mama. Mungkin karena itu pembiasaan yang diajarkan nenek pada kita berdua.

Tapi walau hubungan kita seperti kakak adik, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mirip hubungan seorang ibu dan anak. Sejak kecil kamu yang selalu menggendong dan mengajakku bermain. Kamu juga yang selalu menemaniku tidur. Bahkan ada kalanya di saat sakit atau gelisah, aku menemukan kehangatan di pelukanmu. Di dadamu seperti kutemukan jaminan kasih sayang dari seorang ibu.

Memasuki usia TK, perlahan aku mulai menyadari bahwa kamulah penyebab kehadiranku di dunia ini. Bukan nenek atau wanita lain. Tapi siapa lelaki penyebab kehadiranku, aku tak pernah tahu. Aku pun sering bertanya pada nenek, “Kalau memang teteh itu mamaku, lalu siapa papaku?”

Bukannya jawaban yang kuperoleh, nenek malah memintaku diam. Ada-ada saja cara nenek untuk mendiamkanku. Kadang dia mengalihkan perhatianku dengan harapan aku tak lagi menanyakannya. Namun tak jarang, aku dibentaknya kalau aku terus saja mengoceh.

Gagal bertanya pada nenek, aku pun sering bertanya padamu. Sama seperti nenek, kamu pun tak pernah menjawab pertanyaanku. Bahkan kalau aku ngotot terus bertanya, kamu malah menangis dan memelukku erat. Seakan berharap aku tak memaksamu lagi. Tapi dasar aku keras kepala, aku bahkan meronta dalam pelukanmu. Dan air matamu kian deras mengalir. Kalau sudah demikian, nenek akan melepaskanku darimu. Tak jarang kamu berusaha mempertahankanku. Maka aku pun menjadi rebutan di antara kalian hingga aku pun makin menangis keras.

Sejak itu aku mulai merasa benci. Apalagi sejak aku makin dewasa dan mengetahui sebab kelahiranku. Aku pun sering bertanya dalam hati, mengapa kamu begitu gampang tergoda dengan lelaki itu. Maafkan kalau aku memanggilnya demikian. Aku tahu, dialah orang yang seharusnya kupanggil papa. Dialah penyebab kelahiranku dunia ini. Tapi aku benci padanya. Benci karena tidak pernah menampakkan dirinya di hadapanku.

Di lain waktu kadang aku merasa bingung. Jika lelaki itu datang, apakah aku harus menghormati atau membencinya. Seperti aku pun tak tahu harus menghormati atau membencimu.

Aku sangat membencimu karena membiarkan aku tumbuh dalam rahimmu. Membentukku seperti sekarang. Mengapa engkau memilih diriku, tidak membuangku saja seperti bayi-bayi tak diinginkan lainnya.

Ya, aku membencimu bukan hanya karena aku lahir tanpa status yang jelas. Ada hal lain yang makin memperbesar kebencianku padamu.

Memasuki usia sekolah, kamu sering mengantarku ke sekolah. Awalnya sih aku senang. Aku merasa seperti anak yang lain, diantarkan oleh mama mereka masing-masing. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Kamu tak pernah mengobrol dengan mama lain yang juga sedang menunggu. Kamu justru lebih sering pulang setelah mengantarkan aku. Ketika aku protes, barulah kamu menungguiku. Tapi kamu tak pernah bergabung dengan mereka. Kamu selalu duduk saja di pojokan. Terkantuk-kantuk bahkan tak jarang kulihat sampat tertidur.

Sejak naik kelas 5, aku mulai menyadari kekuranganmu. Karena itu aku tak mau diantar lagi. Aku lebih suka pergi sendiri. Alasanku aku kan sudah cukup besar, sudah bisa berangkat sendiri. Awalnya kamu tidak mengijinkanku naik angkot ke sekolah yang cukup jauh. Tapi karena aku ngambek, akhirnya kamu menyerah juga. Mengijinkan aku berangkat sendiri.

Kalaupun terpaksa diantar, aku biasanya memintamu mengantarkan cukup sampai menyeberang saja. Aku tak mau lagi jika kamu mengantarku sampai gerbang. Aku sudah mulai merasa aneh. Melihat bisik-bisik temanku, aku malu. Begitupula jika ada yang menanyakanmu dan hubungan kita.

Aku makin benci padamu. Kadang aku menanyakan pada Tuhan, kenapa harus aku yang menjadi anakmu. Atau kenapa kamu yang menjadi ibuku.

Perlahan aku mulai merasa minder. Aku merasa sering jadi bahan cemohan teman-teman. Kalau aku mengadu, kamu balik menghiburku.  Kamu menghiburku dan mengatakan tak ada orang yang menertawakan kita. Mereka cukup sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Tapi hiburanmu tak pernah berhasil. Aku tetap merasa minder.

Setiap masuk kelas aku kesal menyaksikan pandangan sinis teman-temanku. Tak sedikit yang nampak berbisik sesama teman sebangku. Ah lagi-lagi kamu berusaha menghiburku. Kamu bilang mereka hanya iri padaku. Tapi aku tidak menemukan alasan yang membuat orang bisa iri padaku. Aku tak punya papa dan mamaku kamu. Apa yang bisa membuat seorang anak bangga dengan keadaan ini?

Aku tahu, kehidupan kita tidak terlalu kesulitan biaya. Kakek dan nenek masih sanggup membiayai kita. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu masih berusaha mencarikan uang jajan untukku. Itu istilahmu. Kamu bilang, kamu tetap merasa perlu memberikan sesuatu padaku. Padahal kutahu uang itu kaudapatkan dari membantu menjualkan barang orang atau jasa mengurut. Yang kutahu pasti kalau ketahuan nenek kamu pasti dimarahin. Malu-maluin keluarga, begitu kata nenek. Tapi kamu tetap ngotot mencari uang dengan cara seperti itu.

Bahkan diam-diam kamu pernah bekerja sebagai pembantu di rumah tetangga yang berbeda blok dengan rumah kakek. Tentu saja kakek dan nenek awalnya tidak tahu. Aku yang pertama kali tahu ketika saat itu aku lewat di depan rumah itu. Aku melihatmu sedang menyapu. Tentu saja aku mendekatimu. Kamu seperti terkejut melihatku. Sesaat kamu terdiam. Nampak sekali sedang bingung memutuskan tindakan selanjutnya. Kamu segera beranjak lari masuk ke dalam. Aku berusaha menggapaimu sambil memanggil. Walau kusadar itu tak ada artinya.  Aku pun berusaha membuka pintu pagar rumah itu. Tapi rupanya tanganku yang kecil kesulitan membukanya. Dengan marah aku menggoyang-goyangkan pagar itu. Tentu saja perbuatanku menarik perhatian tetangga. Bahkan beberapa diantaranya sempat menengok ke arahku.

Cukup lama aku berdiri di depan situ dan membuat keributan. Hingga seorang tetangga membentakku. “Hai, ngapain kamu di situ? Ribut! Pergi sana. Gigiku sedang sakit,” sambil terlihat mengacungkan sebuah sapu lidi. Tentu saja aku ketakutan. Sesaat aku mundur. Berharap dia mengendurkan ancamannya. Tapi ternyata tidak. Dengan langkah ragu, aku pun pergi dari tempat itu.

Aku lalu menunggu di ujung jalan. Berharap melihatmu keluar lagi. Tapi sampai siang dan perutku lapar, aku tidak melihatmu lagi. Akhirnya aku memutuskan pulang dan menunggumu di rumah.

“Nek, aku tadi lihat teteh menyapu di rumah Pak Dayat,” laporku pada nenek. Kulihat nenek menahan marah. Aku tahu, nenek pasti tidak suka mendengar itu.

Malam selepas magrib, kamu masuk sembunyi-sembunyi. Nenek rupanya telah menantinya. “Ngapain kamu kerja di sana. Memalukan keluarga. Memalukan anakmu. Tadi dia bilang padaku, malu melihatmu harus bekerja sebagai pembantu,” tegur nenek. Kamu hanya berpaling. Tidak bersuara. Hanya air mata yang nampak di pelupuk matamu yang merah.

Malam itu aku benci padamu.

Sejak itu aku tak pernah lagi melihatmu bekerja di sana. Tapi dasar aku nakal, aku masih sering saja meminta uang jajan. Padahal aku tahu kamu tidak dapat uang dari manapun kecuali sedikit uang dari kakek. Mungkin karena itulah aku mendengarmu kembali bekerja. Namun kali ini bukan di rumah tapi di sebuah tempat les. Bukan sebagai guru les. Aku tahu, itu kamu pasti tak bisa. Aku tahu kamu di sana membersihkan tempat les itu.

Walau aku membencimu, di saat tertentu aku pun merasa sayang padamu. Merasa bersyukur dan berterimakasih karena membiarkan diriku berkembang menjadi bayi mungil. Lalu menyusuiku dan menemaniku hingga aku besar seperti saat ini.

Ada satu kejadian yang begitu membekas bagiku. Saat itu aku ingat persis adalah ulangtahunku yang ke 10. Pagi-pagi sekali kamu sudah membangunkan aku. Aku seperti biasanya tetap saja malas bangun padahal kamu sudah mencium seluruh wajah dan rambutku. Tapi aku tetap diam. “Teteh, apa-apaan sih. Masih ngantuk!” kataku setengah membentak.

Kulihat kamu sempat mundur sedikit. Tapi kamu kembali maju dan menciumku. Ogah-ogahan terpaksa aku bangun untuk menghindarimu. Entah kenapa kakiku malah tersandung di kaki tempat tidur. Kamu pun spontan hendak meraih tubuh olengku. Aku berhasil menjaga keseimbangan dan berpegangan ke tembok. Namun sayang justru dirimu yang jatuh terduduk di kaki tempat tidur. Tentu saja aku kaget luar biasa. Aku yang tadinya masih terkantuk-kantuk, spontan sadar dan menolongmu. Kamu menggeleng mengisyaratkan tidak apa-apa. Kamu bahkan menepiskan uluran tanganku. Menolak kubantu berdiri dan berusaha tersenyum. Tapi wajah pedihmu menahan rasa sakit terus membayangiku. Aku menangis seharian itu menyesali perbuatanku.

Momen berkesan lainnya juga ketika aku mendapatkan tanda kewanitaan pertamaku. Dirimu terharu memelukku. Aku yang tadinya panik melihat tanda itu justru makin bengong melihat ekspresi kegembiraanmu. Bagaimana mungkin aku kebingungan sementara dirimu justru senang? Berbulan-bulan aku tak mengerti maksudnya. Hampir setahun baru aku bisa mencerna mengapa seorang ibu sepertimu gembira melihat tanda demikian pada anak gadisnya.

Maafkan aku, Teh eh...Ma. Aku memang masih sering bingung memanggilmu apa.  Aku memang mencintaimu. Tapi di sisi lain aku terkadang benci padamu. Benci melihat wajahmu. Benci melihat senyummu saat aku bercerita. Kadang aku berteriak dalam hati. Berharap mendengar suaramu. Berharap menemaniku bernyanyi. Tapi kamu selalu diam saja.

Kini pun aku tetap benci padamu. Benci betapa dirimu sebenarnya sangat baik. Benci kenapa aku tidak bisa seperti dirimu yang selalu ulet, tabah dan ikhlas. Kamu tetap ikhlas menerima kekuranganmu. Kamu menyadari bahwa kekuranganmu itu pula yang menyebabkan kamu terperangkap dalam situasi dengan pria yang menodai kehormatanmu. Peristiwa yang memungkinkan aku hadir dalam rahim sucimu.

Ya, walaupun kamu bisu dan tuli, kamu tetaplah mamaku.

-Firma Sutan-

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun