Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Yakin Mau Jadi Wartawan?"

30 Januari 2016   08:51 Diperbarui: 30 Januari 2016   11:54 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]Belum lama ini keponakan saya, Najwa tanya, "Tante, tante kerjanya jadi wartawan ya?". Saya mengangguk lalu balik tanya ke dia, "Iya kenapa, Kak (panggilan sayang saya buat dia)?". "Kalau udah gede kakak juga mau jadi wartawan ah,". "Kenapa mau jadi wartawan?" tanya saya lagi. "Biar kayak Tante, ketemu Jokowi terus, jalan-jalan gratis, kerjanya bisa dari rumah," jawab bocah enam tahun ini polos.

Saya kemudian mengingat percakapan sejenis dengan papa. Persis seperti yang Najwa katakan pada saya, saya pun mengatakannya pada papa. Tiap ada pertanyaan soal cita-cita, selalu saya jawab "wartawan". Alasannya pun hampir sama dengan jawaban Najwa, karena jadi wartawan itu enak, bisa keliling dunia gratis dan beli Barbie di setiap negara. Kebetulan saya memang pecinta boneka cantik itu.

Cita-cita itu secara tidak langsung saya pupuk dengan rajin menulis buku harian setiap mau tidur, pulang sekolah, hingga mau tidur lagi di malam hari. Apapun yang saya alami dan rasakan hari itu pasti tertulis di buku harian. Saya tidak tahu inspirasi untuk mulai menulis buku harian itu dari mana, yang jelas ada perasaan lega ketika aktivitas ini dilakukan. Secara tidak disadari pula, kebiasaan papa saya membaca koran tiap pagi ikut mempengaruhi saya yang ketika itu masih duduk di bangku sekolah dasar.

Papa memang berlangganan banyak koran dan majalah, termasuk Majalah Bobo dan Aku Anak Saleh khusus untuk saya. Sementara Mama berlangganan Majalah Kartini dan Femina. Pokoknya tidak ada hari tanpa koran dan majalah di rumah. Praktis, saya jadi gemar membaca. Tapi, kegemaran membaca ini rupanya tidak sepenuhnya mendapat bimbingan, sehingga yang terjadi justru lebih rumit.

Pernah saat saya kelas enam SD menjalani operasi usus buntu. Begitu siuman, hal pertama yang saya tanyakan pada dokter adalah: "Dok, enggak ada gunting yang ketinggalan di perut aku kan?". Ini gara-gara saya pernah membaca berita tentang kasus malpraktik gunting tertinggal di perut pasien di sebuah harian ibukota. Dokternya cuma senyum sambil geleng kepala. Pengetahuan saya akan banyak hal justru membuat saya peka sekaligus paranoid, yang ternyata tidak selalu membawa dampak negatif ketika saya benar-benar jadi wartawan.

Peka. Satu kata itu menurut saya modal penting buat jadi wartawan. Kenapa? Dengan peka, seorang wartawan akan mampu melihat sudut pandang dengan lebih tajam dan terarah. Enggak melulu ikut-ikutan teman yang bareng doorstop (istilah kasarnya mencegat narasumber on the spot rame-rame), atau manggut-manggut aja apa yang disuruh sama redaktur atau editor di kantor. Eh, tapi ya dengan kadar kepekaan dan paranoid yang tinggi bukan berarti saya jadi wartawan yang hebat. Enggak sama sekali.

Banyak pelajaran yang saya dapat setelah tujuh taunan menjalani profesi ini. Yang paling membekas, ternyata jadi wartawan tak semudah dan tak seindah yang saya angankan waktu kecil dulu. Setelah terjun langsung, saya baru paham pertanyaan yang sering papa tanya dulu kala, "Yakin mau jadi wartawan?". Baru ngerti juga kalau jadi wartawan itu enggak boleh manja yang banyak alasan kalau dapat tugas susah dan jauh. Dulu saya begitu, tapi enggak pernah nolak tugas. Istilahnya, sok mandiri, sok jadi jurnalis tangguh. Padahal sih ujung-ujungnya ngerepotin pacar (yang untungnya wartawan juga) buat minta anter ke sana ke sini. Hahaha.

Intinya sih gini, sebelum bener-bener mutusin kepingin jadi wartawan, mending pikir dulu mateng-mateng. Jangan biarin pikirannya dangkal cuma ngeliat yang enaknya aja. Ukur juga kemampuan diri sendiri, mau belajar nulis yang bener gak, bisa bikin berita berimbang gak, udah siap belum telinganya dicekokin kata-kata pedes dari bos sama narasumber?

Bukan gimana-gimana, kalau passion-nya bukan di profesi ini (dan cuma ngarepin dapet amplop atau goodiebag alias jadi wartawan bodrek, atau cuma buat pamer bisa poto sama pejabat atau orang penting), yang dirugiin bukan cuma diri sendiri, tapi banyak orang. Iya dong, apalagi kalau bikin berita cuma sesuai 'order' yang punya duit, lalu nutupin atau bahkan ngilangin fakta yang sebenarnya. Sementara yang jadi pembaca percaya aja berita yang dimuat lantaran nama medianya dianggap kredibel.

Untuk jadi jurnalis yang independen, apalagi di zaman sekarang, emang gak gampang. Industrinya sendiri udah terkontaminasi paham kapitalis. Minimal, jadilah wartawan yang jujur sama diri sendiri biar bisa bikin berita yang enggak menyesatkan pembaca. Satu lagi, jangan ngarepin gaji gede karena sebagian besar media massa di Indonesia cuma bisa gaji wartawan ala kadarnya. Sebagian besar loh ya, bukan semua. Itulah kenapa ada istilah wartawan amplop, bodrek, dan sejenisnya. Mereka kerja sampingan dengan memgakomodir kepentingan yang bayar.

Tapi, tanpa jadi bodrek pun, wartawan sebenarnya bisa sejahtera kok. Caranya? Investasi. Bisa beli reksadana, saham, obligasi, emas, atau properti. Buat beli reksadana atau saham juga sekarang gak butuh modal ratusan juta. Apalagi, BEI baru luncurin gerakan menabung saham yang memudahkan orang awam kaya saya belajar berinvestasi. Cuma yaa..kalau investasi kan butuh waktu, bukan yang sekali naro duit besok langsung berbuah. Kebanyakan pada gak sabaran, dan berpikir enakan "ngebodrek". Hehehe..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun