Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional dalam Penegakan Hukumnya

25 September 2012   14:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:43 6833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh : Abdul Fickar Hadjar[2]
Pendahuluan
Tindak pidana transnasional merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan perdamaian dunia. Perkembangan tindak pidana transnasional ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping dapat memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari satu negara ke negara lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam dan maraknya tindak pidana. Pada saat ini tindak pidana transnasional telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter,modusoperandi, dan pelakunya.[3]
Dalam konteks Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi (United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime) tindak pidana transnasional yang terorganisasi itu dikualifikasi antara lain: (a) Tindak Pidana atas Kesertaan (partisipasi) dalam Kelompok Pelaku Tindak Pidana Terorganisasi[4], (b) Tindak Pidana atas Pencucian Hasil Tindak Pidana (termasuk, tidak terbatas pencucian uang)[5], (c) Tindak Pidana Korupsi,[6] (d) Tindak Pidanayang berkaitan dengan gangguan proses peradilan.[7]
Dalam pembahasan ini berdasarkan kesepakatan rapat Tim tanggal 11 September 2012 pengertian tindak pidana transnasional hanya akan dibatasi pada beberapa tindak pidana saja yaitu : Tindak Pidana Pencucian Uang dan Narkoba, Tindak Pidana Korupsi, dan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pengertian Tindak Pidana Transnasional
Menurut I Wayan Parthiana dalam bukunya : Hukum Pidana Internasional, secara teoritisada beberapa istilah yang dikenal untuk menggambarkan perbuatanyang merupakan tindak pidana menurut hukum internasional, yaitu:
1.Tindak Pidana yang Berdimensi Internasional;
Ini untuk menggambarkan tindak pidana yang terjadi dalam wilayah suatu negara dan demikian juga akibat yang ditimbulkan juga masih terbatas di wilayah negara yang bersangkutan, tetapi dalam hal tertentu melibatkan negara lain. Misalnya pelaku melarikan diri ke negara lain atau pelakunya warga negara asing, maka dalam kasus-kasus seperti ini negara lain juga akan terlibat;
2.Tindak Pidana Transnasional;
Adalah tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah suatu negara atau negara-negara lain, tetapi akibat yang ditimbulkannyaterjadi di negara atau negara-negara lain, atau tindak pidana yang pelaku-pelakunya berada terpencar di wilayah duanegara atau lebih, dan melakukan satuatau lebih tindak pidana serta baik pelaku maupun tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan, yang menimbulkan akibat pada satu negara atau lebih;

3.Tindak Pidana Internasional.
Yaitu tindak pidana yang menimbulkan akibat yang sangat luas tanpa mengenal batas-batas wilayah negara. Akibat dari tindakpidana tersebutmembahayakan seluruh umat manusia di bumi ini.Tindak Pidana Internasional bisa saja dilakukan di dalam wilayah satu negara dan juga akibatnya hanya pada wilayah negara yang bersangkutan. Namun, karena perbuatannya berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, tindak pidana tersebutbukan hanya menjadi masalah dari negara yang bersangkutan, melainkan juga menjadi masalah internasional.
Ketiga pembagian tersebut sesungguhnya masih dapat disederhanakan menjadi : tindak pidana internasional dan tindak pidana transnasional, dimanabutir 1 dikelompokkan ke dalam tindak pidana transnasional.Ada persamaan dan ada perbedaan keduanya, persamaan tampak pada sisi praktis. Dalam praktek penegakan hukum pidana internasional perbedaan antara tindak pidana transnasional dan tindak pidana internasional tidak memiliki arti yang signifikan. Oleh karena itu, kedua bentuk tindak pidana ini membutuhkan kerjasama internasional, baik bilateral maupun multilateral, dalam penangguklangannya[8].
Berdasarkan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana TransnasionalYang Terorganisasi (United Nations Nations Convention Against Transnasional Organized Crime), Tindak Pidana adalah bersifat transnasional, [9] jika :
(a)dilakukan di lebih dari satu Negara;
(b)dilakukan di satu Negara namun bagian penting dari kegiatan persiapan, perencanaan, pengarahan atau kontrol terjadi di Negara lain;
(c)dilakukan di satu Negara tetapimelibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu Negara; atau
(d)dilakukan di satu Negara namun memiliki akibat utama di Negara lain.
Tindak Pidana Transnasional dalam KUHP
Mengenai tindak pidana transnasional ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sudah mengaturnya. Hal ini terlihat dari bunyi ketentuan-ketentuan dalam beberapa pasal di dalamnya, yaitu antara lain:
Pasal 2 KUHP
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana didalam Indonesia
Ketentuan ini selain menunjukan penganutan terhadap azas teritorialitas (wilayah) dimana hukum pidana berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di wilayah suatu negara tertentu dalam hal ini Indonesia, juga berarti bahwa orang yang melakukan kejahatan tidak mesti secara phisik betul-betul berada di Indonesia, tetapi deliknya (strafbaar feit) terjadi diwilayah Indonesia.[10] Demikian jugaorangatau subjek hukum yang melakukannya juga tidak terbatas hanya pada warga negara Indonesia.
Pasal3 KUHP
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia, melakukan perbuatan pidana didalam perahu Indonesia
Demikian juga ketentuan ini selain menunjukan penganutan azas teritorialitas dimana hukum Indonesia berlaku di wilayah Indonesia termasuk diatas “perahu Indonesia” di luar Indonesia,tapi juga menunjukanbahwa keberlakuan hukum nasional juga bagi kejahatan-kejahatan yang melintasi batas negara atau transnasional.
Demikian juga ketentuan-ketentuan lainnya yang terdapat dalam KUHP, yaitu Pasal 4 KUHP[11] yang diperluas dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan menunjukan bahwa pengaturan tentang tindak pidana yang melintasi batas negara telah diatur sejak lama meskipun belum disebut dengan terminologi transnasional. Pasal 5 KUHP pun mengatur tentang berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia, bagi warga negara indonesia yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Pengaturan tentang kejahatan transnational sebagaimana dimuat dalam KUHP dilandasi oleh asas-asas berlakunya hukum pidana[12], dalam hal ini 4 (empat) asas berlakunya hukum pidana nasional[13]: yaitu asas teritorial (Pasal 2 & 3), asas nasional aktif (Pasl 5), asas nasional pasif(Pasal 4 ke 1, 2 dan 4) dan asas universal (Pasal 4 ke 2 dan ke 4).
Namun demikian asas-asas berlakunya hukum pidana berdasarkan KUHP tersebut juga dibatasi pemberlakuan ketentuan hukum internasional yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 9 KUHP[14]. Bunyi ketentuan Pasal 9 KUHP tersebut mengandung makna yang mendalam dan luas, dalam arti bahwa, praktisi penegak hukum di Indonesia termasuk juga pembentuk undang-undang harus memahami sungguh-sungguh kekuatan hukum mengikat dari suatu perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.[15]
Demikian juga halnya, yuridiksi dalam hukum pidana Internasional, Lotika Sarker membedakannya denganpembagian yang klasik,yaituasas teritorial, asas nasional, dan asas perlindungan dan tidak secara khususmembahas asas universal. Bertolak dari referensi mengenai berlakunya hukum pidana dapat dikatakan bahwa, pembedaan yuridiksi ke dalam 4 (empat) lingkup tersebuttermasuk pembagian yang bersifat tradisional atau konvensional.[16] Selainyuridiksi konvensional tersebut, berdasarkan doktrin maupun yurisprudensi mengenai kejahatan transnasional/internasional, juga terdapat pembedaan yuridiksi kriminal yang dilaksanakan dalam praktek hukum internasional. Cryer Frima, Robinson dan Wilmshurst, telah membedakan 3 (tiga) bentuk yuridiksi kriminal[17], yaitu: “legislative juridiction[18] (yuridiksi legislatif), “adjudicative jurisdiction[19] (yuridiksi pengadilan) dan “executive jurisdiction” (yuridiksi eksekutif)[20].
Dari rangkaian uraian diatas, bagian tulisan ini hendak mengatakan :
1.Perbedaan antara tindak pidana internasional dengan tindak pidana transnasional terletak pada unsur internasional yang tidak dimiliki tindak pidana transnasional. Unsur internasional yaitu sifat mengancam (langsung maupun tak langsung) perdamaian dan keamanandunia atau menggoyahkan rasa kemanusiaan;
2.Suatu tindak pidana internasionalbelum tentu atau tidak serta merta disebut sebagai tindak pidana transnasional. Demikian juga sebaliknya tindak pidana transnasional tidak serta merta dapat disebut sebagai tindak pidana internasional;
3.Dalam keadaan tertentu tindak pidana internasional berkarakter tindak pidana transnasional jika locus delictinya terjadi di dua negara atau lebih. Demikian pun tindak pidana transnasionalmerupakan tindak pidana internasional karena dikualifikasi sebagai kejahatan internasional baik oleh konvensi maupun oleh hukum kebiasaan internasional.
4.Tindak pidana transnasional adalah tindak pidana yang terjadi lintas negara yang tidak mengandung unsur internasional (mengancam perdamaian & keamanan dunia atau menggoyahkan rasa kemanusiaan).

Jenis Tindak Pidana Transnasional/Internasional berdasar UNTOC
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) secara garis besar membahas dua substansi, yaitu:
a.Kaedah hukum materiil-substansial yakni kejahatan-kejahatansebagaimana dijumpai dalam Pasal 5, 6, 8, 9 dan 23 tentang yuridiksi (Pasal 15) maupun hal-hal terkait dengan itu, antara lain tentang istilah-istilahyang digunakan (pasal 2), ruang lingkup berlakunya Konvensi (Pasal 3), prinsip perlindungan dan penghormatan atas kedaulatan negara-negara peserta atau pihak pada Konvensi (Pasal 4);
b.Kaedah hukum formal-prosedural, yakni tentang masalah-masalah prosedural penanganan perkara, yang meliputi kerjasama international antara negara-negara peserta Konvensi, seperti Ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (pasal 17), dan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana yang disebut juga dengan bantuan hukum timbal balik (Pasal 18) ataupun pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan kerjasama international.
Dari dua substansi tersebut berdasarkan ruang lingkup berlakunya UNTOC (Pasal 3) ada lima jenis tindak pidana transnasional yang terorganisasi, yaitu:
1.Berpartisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi (Pasal5);
2.Tindak pidana yang merupakan pencucian hasil tindak pidana (Pasal 6);
3.Tindak Pidana Korupsi (Pasal 8);
4.Tindak Pidana yang merupakan gangguan terhadap proses peradilan (pasal 23).
5.Tindak pidana serius (serious crime) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 huruf b.[21]
Dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia, belum semua jenis tindak pidana diatur dalam UNTOC dapat dipenuhi, namun secara sporadis pengaturan hal tersebut ada pada beberapa undang-undang, antara lain:
Ad 1.Tindak Pidana atas partisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi;
Ketentuan ini mennyiratkan bagaimana seseorang atau beberapa orang melibatkan diri dalam kegiatan dari kelompokterorganisasiyang sudah ada dan diketahuinyaberaktivitas melakukan tindak pidana.
Ketentuan tentang penyertaan maupun permufakatan jahat yang ada dalam perundang-undangan Indonesia, dapat dikatakan belum memenuhi kriteriatindak pidana dalam kelompok pelaku yang terorganisasi, karena:
a.Penyertaan & permufakatan jahatbukan merupakan tindak pidana[22];
b.Penyertaan & permufakatan jahat selama ini digunakan dalam hal keterlibatan orang-perorangan, bukan untuk keterlibatan seseorang dalam hubungannya dengan kelompok terorganisasi.
Pasal 169 KUHP melarang keterlibatan seseorang dalam perkumpulan yang bertujuan melakukankejahatan. Meski ketentuan tersebut sesungguhnya telah sejalan dan memenuhi unsur semangat Pasal 5 Konvensi, namun ketentuan ini masih bersifat sangat umum dan pada prakteknya pasal 169 KUHP hampir tidak pernah digunakan lagi.
Undang-undang Narkotika (UU No.35 Th. 2009) & UU tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang[23] telah mengakomodasi sebagian ketentuan Pasal 5 Konvensi dalam memaknai permufakatan jahat, namun ketentuan ini hanya berlaku bagi tindak pidana narkotika, sedangkan bentuk keterlibatan lainnya belum diatur secara khusus.

Ad.2. Tindak pidana yang merupakan pencucian hasil tindak pidana;
Tindak pidana ini sudah diatur dalam undang-undang, terakhir Undang-undang No. 8 Tahun2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagai gantiundang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003.
Undang-undang No. 8 Tahun 2010 telah merumuskan perbuatan pemindahan kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagai tindak pidana pencucian uang. Selain telah merinci tindak pidana asal yang termasukdalam lingkup tindak pidana pencucian uang, UU No. 8 Tahun 2010 ini juga telah memperluas pengertian tindak pidana asal sebagai tindak pidana yang diancam hukuman 4 tahun atau lebih.
UU Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang ini secara tegas menyatakan menganut asas kriminalitas ganda (double criminality) yaitu perbuatan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia, sepanjang dikualifikasi sebagai tindak pidana menurut hukum di negara yang besangkutan, dan menurut hukum Indonesia juga merupakan tindak pidana maka dianggap termasuk alam katagori tindak pidana asal sebagai dirinci dalam UU No. 8 Tahun 2010.
Ad.3. Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atasUndang-undangNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption.
Ad.4. Tindak Pidana yang merupakan gangguan terhadap proses peradilan
Ada 2 (dua) bentuk perbuatan yang dipandang sebagai bentuk gangguan proses peradilan, yaitu:
a.Objek gangguannya: Saksi dan Bukti
Setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik ancaman atau intimidasi atau janji,menawarkan atau memberi keuntungan yang tidak semestinya untuk membujuk, memberikan kesaksian palsu atau mencampuri dalam pemberian satu kesaksianatau pembuatan bukti dalam proses beracara.
UU No.13 Tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi dan Korban secara khusus mengatur perlindungan saksi dan korban, tidak saja mengatur perlindungan secara fisik tapi juga perlindungan dalam bentuk pemberian keterangan kesaksian yang memungkinkan tidak perlu hadir di pengadilan.
b.Objek gangguannya Pejabat Peradilan atau Penegak Hukum
Setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik ancaman atau intimidasi mencampuri pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau penegak hukum. Ketentuan ini tidak mengurangi hak negara (dalam perundang-undangan) untuk melindungi pejabat publik dalam katagori lain.
Jenis-jenis Tindak Pidana International / Transnasional, Pengaturan dan Institusi Pelaksana: yang akan menjadi pembahasan Tim Kompedium

Jenis Tindak Pidana Transnasional / Interna
Sional

Rules
------------------------------
Convensi- Perjanjian-UU

Law Implementing Agency
--------------------------------
Penyidik-Penuntut

Pencegahan&Pembran tasan Tindak Pidana Pencucian Uang

- United Nations Convention Against Transnational Organi- zed Crime (UNTOC);
-UU No. 5 Tahun 2009 tentang PengesahanUNTOC
- UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
-Undang-undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
-Peraturan Bank Indonesia No. 2/10/101/2001;
-Keputusan Menteri Keuangan No.45/KMK/06/2003 tentang Prinsif Mengenal Nasabah.

- Kepolisian -Kejaksaan
-Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)
-Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
-Dirjen Imigrasi (Pasal 91-103) Cegah tangkal
-Bank Indonesia (BI);
-Menteri Keuangan;
-Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM LK), jo UU No.
Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun