Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Baiq Nuril dan Amnesti

8 Juli 2019   22:53 Diperbarui: 9 Juli 2019   13:22 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadi pagi (7719) bertemu Febrian Metrotv omong-omong sekitar putusan Peninjauan Kembali (PK) BN dr MA, saya bilang: Pertama, secara yuridis dari perspektif MA putusan itu cukup berdasar, karena sebagai peradilan tertinggi, MA berwenang memutus PK, kemudian menurut Majelis PK Hakim peradilan Kasasi tidak keliru dan tidak khilaf, demikian juga tidak ada bukti baru yg bisa dipertimbangkan, krn itu PK ditolak.

Kedua: putusan PK ini tidak adil krn tidak mempertimbangkan kekeliruan/ kekhilapan Majelis Kasasi yg seharusnya menolak kasasi JPU atas putusan bebas PN Mataram (psl 244 KUHAP). Demikian jg jika majelis Kasasi merasa berwenang mengadili, maka jg terdapat kekeliruan menafsirkan psl 27 (1) UU ITE krn perbuatan BN tidak termasuk kualifikasi mendistribusikan &/ mentransmisikan info/dokumen elektronik bermuatan kesusilaan (digunakan teman BN melapor ke pengawas).

Demikian jg bila tindakan BN merekam dikualifisir sbg "membuat dapat diaksesnya info /dok elektronik, mk sdh sepantasnya jg dipertanyakan "mengapa BN merekam" rayuan sang Kepala sekolah?, Bgmn pola relasi antara BN (guru honorer) dgn M (Kpl sekolah) yg tdk seimbang dan cenderung menindas?

Dengan konstruksi peristiwa spt itu, mk seharusnya "tindakan perekaman suara" yg dibuat dan digunakan dlm rangka pelaporan kpd pengawas kepala sekolah seharusnya dianggap dan diletakkan sbg pembelaan diri. Karenanya ada alasan pemaaf (psl 49 KUHP) bg tindakan BN dan BN hrs dilepaskan dr tuntutan.

Namun demikian nasi sudah menjadi "ketupat" (he..he.. sy lebih senang ketupat pake "sayur" ketimbang bubur), putusan PK adalah putusan tertinggi (meski menurut MK PK bisa ber X X) dlm peradilan kita harus kita hormati. Bgmn sekarang "menyelamatkan BN dr hukuman yg tidak logis (Rp.500 juta) padahal sejatinya BN merupakan "korban kekerasan sexual" dr sang Kepala Sekolah.

Mungkinkah Amnesti?
UU Darurat No.11/1954 ttg Amnesti dan abolisi membuka peluang "penyelamatan BN" krn menurut sy UU tsb tdk membatasi amnesti hanya pd perkara politik sj. Presiden sbg Kepala Negara atas nama kemanusiaan dan kepentingan negara melindungi korban kekerasan seksual khususnya komitnen presiden memberikan perlindungan hkm dan mengawasi penegakan hukum khususnya terhadap perempuan. Jadi peluangnya menurut sy, cukup besar krn amnesti jg bisa dilakukan (tdk ada pembatasan) terhadap kasus hukum lain selain kasus politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun