Mohon tunggu...
Fhadil Afdhani Rani
Fhadil Afdhani Rani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Biasa yang tidak suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pandangan Humanisme dalam Agama

25 Mei 2017   15:01 Diperbarui: 25 Mei 2017   15:16 6539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Humanisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa manusia dapat memahami dunia serta keseluruhan realita dengan menggunakan pengalaman dan nilai-nilai kemanusiaan bersama. Kita bisa hidup baik tanpa agama sekalipun. Para Humanis berusaha menciptakan yang terbaik bagi kehidupan dengan menciptakan makna dan tujuan bagi diri sendiri.

Tokoh besar dari Humanisme adalah Erasmus dari Rotterdam, yang pernah bersahabat dengan Martin Luther. Humanisme berpusatkan manusia dan tidak menerima hakikat Tuhan adikodrati di atas manusia, gerakan ini pada prinsipnya merupakan kecenderungan untuk "menggali potensi manusia dan alam secara mandiri " sejalan dengan nafas "kembali ke sumber" yang berarti pula sebagai "kelahiran kembali kebudayaan dan kesenian kuno" beberapa bentuk humanisme yang menekankan aspek antara lain Humanisme Rasional, Humanisme Evolusi, atau Humanisme Naturalis. Kemudian berkembang Humanisme Sekuler dan bercampur baur dan bergeser menjadi Humanisme Baru ( New Humanism), yang timbul sebagai bagian dari Gerakan Zaman Baru dalam arti kata yang luas.

Jargon humanisme lazim digunakan dalam pengertian tatanan nilai yang mengaksentuasikan kompetensi kepribadian setiap individu manusia. Namun jargon ini tidak mengandung keimanan kepada Tuhan. Kendati dalam humanisme terlihat bingkai transparan yang berlandaskan paham ateisme, namun para humanis juga menggunakan berbagai format religius untuk mempromosikan norma-norma kemanusiaan. Contohnya, pada abad ke 19 Auguste Comte, seorang positivis Perancis, sengaja mendirikan agama kemanusiaan yang berlandaskan ateisme hanya dengan tujuan membenahi situasi sosial. Kecuali itu, serangkaian doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat minat dari kalangan elit agama.

Kalangan humanisme meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya. Dalam diri manusia terdapat dua naluri, naluri alamiah dan naluri ketuhanan. Keduanya saling mengisi dan tidak bertentangan, meskipun mengandung kontradiksi, dan kadangkala manusia bertindak menentang dan berlawan dengan sunnatullah yang mengandung keseimbangan di dalamnya.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, humanisme berasal dari Barat. Kebebasan merupakan tema pokok humanisme. Humanisme modern yang mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu mekar seiring dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan ‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu illahi, melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Kebudayaan tampil ke depan menggeser agama.

Kendati memiliki pandangan sedemikian rupa mengenai asketisisme dan ketuhanan, humanisme tidak memiliki tokoh yang anti agama atau anti Kristen. Kecenderungan untuk membela nilai dan kebebasan manusia telah mendorong kaum humanis untuk berdiskusi mengenai Tuhan, kekuatan-Nya, serta masalah-masalah kontemporer mengenai ruh, keabadian ruh, dan kebebasan ruh yang biasanya tetap dikemukakan dengan tipe-tipe tradisional abad-abad pertengahan dan terlimitasi oleh paradigma masa itu. Betapa pun demikian, dalam humanisme pembahasan-pembahasan ini menemukan makna baru, sebab menurut mereka pemahaman dan keyakinan adalah demi daya inovatif manusia di dunia, dan daya ini juga mereka pertahankan di dalam areal keagamaan.

Walaupun tidak memberikan penekanan terhadap keimanan kepada Tuhan, kaum humanis tetap memandang harus konsisten kepada doktrin-doktrin keagamaan, kendati agama itu ternyata berlandaskan ateisme dan dicetuskan oleh seorang manusia semisal Auguste Comte. Sebab mereka meyakini tatanan sosial akan porak poranda tanpa adanya komitmen kepada serangkaian prinsip agama, baik yang berdasarkan monoteisme maupun ateisme. Karena itu, di sini kaum humanis bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok: penyembah Tuhan dan ateis. Namun, perlu disebutkan bahwa dalam pandangan kaum humanis penyembah Tuhan-pun, yang menjadi orientasi ialah nilai dan kebebasan manusia, sedangkan pengenalan Tuhan beserta kekuatan-Nya hanya dipandang sebagai instrumen, dan bahwa komitmen kepada ajaran dan instruksi-instruksi agama hanya merupakan instrumen dengan peranannya yang superfisial.

Walaupun Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis. Misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis dan sebagainya yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang paling serung memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.

Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat, the deists, dan kaum materialis di abad ke-18. Dalam upayanya untuk merebut manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis yang baru saja kita bahas. Pertanyaan kita di atas harus kita jawab sekarang: Apakah kontribusi humanisme ateistis bagi pemahaman tentang manusia dan kemanusiaannya?

Sejauh kita mengambil segi positifnya, radikalisasi ‘moral rasional’ adalah sumbangan pertama kaum humanis ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral yang imanen pada kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the deists di abad ke-18. Para humanis Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun perananNya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Bisa dikatakan bahwa humanisme ateistis membawa moral rasional itu sampai ke tepian akhir imanensi manusia untuk menemukan prinsip-prinsip kebaikan yang murni manusiawi tanpa transendensi. Moral rasional seperti ini dapat memberi platform bersama suatu masyarakat yang ditandai oleh persaingan berbagai doktrin religius. Moral rasional itu tidak dikhususkan pada iman religius tertentu, maka membantu toleransi di dalam masyarakat modern yang semakin kompleks.

Sumbangan kedua humanisme ateistis adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu pendekatan rasional untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu hal, tetapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama membantunya untuk memeriksanya untuk mengambil jarak kritis terhadap penghayatannya. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran absolutnya sehingga tak seorangpun berani mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan itu tidak bisa disebut manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Bagaikan bubuk mesiu yang meletus dan mengganggu telinga, kritik agama menggugah orang beragama untuk – meminjam istilah Kant – “terjaga dari tidur dogmatis”nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun