Mohon tunggu...
Ferry Ardiyanto Kurniawan
Ferry Ardiyanto Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis itu bebas

Menulis untuk menguji kapasitas.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mencari Segayung Air

31 Agustus 2019   02:32 Diperbarui: 4 September 2019   15:39 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu musim kemarau telah tiba. Aku yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas tak tahu jika kemarau menjadi penanda jutaan makhluk hidup mesti berjuang lebih keras untuk sekadar mendapatkan segayung air. 

Berjalan kaki dengan menenteng ember, mencari sumber air berupa sumur atau aliran yang mengucur, sudah menjadi rutinitas warga masyarakat di sekitar tempat tinggalku.

Tak ada sikap nyata selain keluhan dan rasa kesal karena kebutuhan akan air tak bisa instan didapat seperti saat musim hujan turun. Jangankan untuk minum, sekadar mencuci tangan pun rasanya sangat sulit. Sehingga aku mesti berjalan ke sumur yang masih menyisakkan air.

Panjangnya musim kemarau sangat menyiksa diriku dan keluargaku. Ketika pagi tiba, yang biasanya aku tinggal melangkahkan kaki menuju kamar mandi, saat itu berubah. 

Arah langkahku harus aku ubah menuju sumur milik orang lain, dengan ditemani nenekku, kami berjalan menenteng 4 buah ember yang digunakan untuk menampung air hasil timbaan.

Kebiasaan seperti itu hampir aku lakukan setiap hari, bahkan tak hanya pagi hari, tapi menjelang malam pun aku melakukan hal yang sama. Ditambah lelaki di rumah hanya diriku dan kakekku. Lengkaplah sudah perjuanganku untuk mencari segayung air.

Air sudah tertampung. Aku dan nenekku menentengnya kembali menuju rumah. Air yang ku dapat sepulang dari sumur sebenarnya tak sepenuh saat aku menuangkannya ke ember, tapi menjadi setengah ember sesampainya di rumah. Sebab saat berjalan, air penuh tadi tertumpah-tumpah karena hentakan saat berjalan.

Tak hanya perjuangan tersebut yang aku alami. Aku amati lingkungan sekitar rumahku yang kebetulan banyak lahan perkebunan milik warga-warga setempat, semuanya kering, tanah retak, tandus, gersang, dan tak ada aktivitas pertanian kala itu. Mungkin lain halnya di tempat yang memiliki sistem pengairan lebih canggih.

Setiap pagi dan sore nenekku sudah siap dengan empat embernya. Aku sudah paham bahwa saat itu juga aku mesti menemaninya mengambil air ke sumur milik orang lain, dan yang lebih menarik, terkadang aku membawa seluruh ember dengan cara pulang pergi, karena nenekku sudah tak kuat untuk berjalan mengangkat ember tersebut.

Dan ada lagi yang tidak aku suka, yaitu ketika malam tiba, karena stok air yang sore hari aku ambil ternyata sudah habis. Untuk keperluan di kamar mandi pun tidak ada. 

Terpaksa aku harus kembali mengambil air, jika malam aku mesti mengambilnya sendirian. Kembali aku menenteng ember berisi air, sampai-sampai aku merasa otot lenganku semakin membesar karena saking seringnya mengangkat ember.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun