Mohon tunggu...
Ferre Templar
Ferre Templar Mohon Tunggu... -

Saya Menulis Demi Menjaga Kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Mental "Inlander" Persamaan Nasib Teralienasi

30 Oktober 2017   01:28 Diperbarui: 30 Oktober 2017   01:36 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam pembukaan UUD 45 Negara ini terbentuk salah satunya dinyatakan dalam "Persamaan Nasib". Persamaan nasib sebagai bekas negara colonial yang berlangsung berabad-abad sagat mungkin membentuk persamaan sikap dan perilaku bangsa sehingga bersatu dalam sebuah negara merdeka. Setelah merdeka selama puluhan tahun, ternyata negeri ini masih menghadapi masalah yang sama saat masih menjadi negara colonial Hindia Belanda. 

Masalah kebodohan dan kemiskinan masih tetap tidak bisa  disingkirkan. Padahal "mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum" adalah amanat undang-undang dasar. Kenyataannya dari segi kualitas manusia,  sebagai negara dengan penduduk terbesar ke 4 dunia, Indonesia tidak pernah meraih penghargaan Nobel. Sedangkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin makin melebar dengan makin besarnya koefisen GINI yang sudah mencapai 0,41. Mungkin ada sesuatu dalam "psyche" manusia Indonesia yang belum berubah.

Psikologi mencatat, bahwa perkembangan mental manusia sangat dipengaruhi bagaimana masa lalu yang dialami oleh individu. Walaupun tidak secara jelas memprediksi bagaimana pengalaman masa lalu tertentu akan menghasilkan sikap spesifik pada masa kini, korelasinya cukup kuat menurut beberapa ilmuwan Psikologi. Katakanlah Sigmund Freud yang menyatakan betapa pentingnya 5 tahun kehidupan manusia sehingga dapat membentuk pribadinya hingga dewasa. Lain juga dengan Erik Eriksson yang menyatakan bahwa tiap tahapan perkembangan manusia juga mempengaruhi tahapan perkembangan manusia berikutnya.

Lalu, setelah tujuh puluh tahun lebih merdeka, apa yang membuat bangsa Indonesia tidak juga keluar dari masalah mendasarnya. Mungkin menelusuri secara historis kehidupan masyarakat Indonesia bisa menjadi salah satu cara memahami apa yang terjadi. Tulisan ini mencoba menganalisa dari persepsi alienasi manusia sebagai makhluk social.

Memang aneh jika melhat fenomena revolusi teknologi saat ini. Apa yang dipikirkan manusia 50 tahun yang lalu tidak akan mampu memprediksi apa yang dilakukan manusia saat ini. Tidak ada yang mampu menjelaskan 50 tahun yang lalu bahwa informasi begitu mudah didapat. Energi terbarukan yang membuat harga energi menjadi murah. Teknologi komputasi yang memungkinkan pekerjaan yang membutuhkan perhitungan berat bisa dilakukan dalam hitungan menit. 

Teorinya, kehidupan harusnya menjadi lebih mudah. Tetapi kenyataannya justru bertolak belakang, banyak pekerja meninggal kelelahan karena terlalu banyak  bekerja. Keroshi, menjadi fenomena yang menjadi trend saat ini di Jepang dan China. Pabrik-pabrik yang menggunakan robot dan kecerdasan buatan, mampu memproduksi mobil dan peralatan rumit lainnya dalam hitungan menit, namun tetap saja banyak orang tua tidak punya waktu untuk bermain dengan anaknya. Lalu kenapa setelah kemajuan teknologi ini, manusia tetap tidak bisa hidup lebih sejahtera?

Jika mengikuti tradisi berpikir Marx, kita akan melihat manusia sebagai spesies tetap perlu beraktivitas untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Secara historis sejak aktivitas nya berburu, bercocok tanam hingga industry, manusia melakukan aktivitas tersebut untuk menjamin kelangsungan hidup. Perbedaan utama pada manusia dan spesies lainnya adalah, manusia berkesadaran sehingga belajar dari perjalanan sejarah kegiatannya terdahulu. 

Sedangkan hewan, aktivitas yang dilakukan adalah repetisi terus menerus dari apa yang sudah ada untuk melangsungkan kehidupannya. Karena kesadaran akan sejarah pengalaman kegiatannya, manusia secara berangsur, angsur menciptakan cara-cara baru dalam beraktivitas sehingga memperbaiki cara sebelumnya.

Sebagai makhluk social, menurut Marx, manusia harus berelasi dengan orang lain agar aktivitas menjaga kelangsungan hidupnya lebih efektif. Relasi kerja sama ini yang akhirnya membentuk suatu suku, atau klan. Dengan bekerja sama, manifestasi individu muncul sebagai bentuk bekerja dalam lingkungan social. Semakin hasil kerja individu bermakna bagi masyarakat, semakin terasa "beings" sebagai manusia.

Semakin efektif kerjasama antar manusia dalam suatu kelompok akan menghasilkan surplus dari kerjasama yang dilakukan. Surplus ini pada akhirnya akan membentuk kelas, karena akan ada sebagian anggota kelompok yang tidak perlu bekerja akibat adanya surplus dari kerjasama. Kondisi ini bisa dikatakan baik jika kelompok yang memperoleh surplus mengalokasikan kerja mereka ke hal lain yang bermanfaat bagi kelompok tersebut. Masalah akan timbul ketika mayoritas kelompok yang bekerjasama menghasilkan surplus tidak bisa menikmati surplus pekerjaan mereka. Inilah awal dari keterasingan, dimana kelompok yang bekerja menjadi terasing dengan surplus yang mereka hasilkan.

Mungkin penjelasan diatas jika diaplikasikan dalam setting masyarakat Indonesia yang menjadi negara colonial, terasa cukup masuk akal. Membayangkan setting sejarah dimana masyarakat dipaksa bekerja pada tanah-tanah milik colonial tapi tidak mendapatkan apa-apa selama berabad-abad. Persamaan nasib bangsa Indonesia teralienasi dari hasil kerja dan tanah mereka sendiri. Kita sering mendengar bangsa kita adalah bangsa yang kaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun