Mohon tunggu...
Fenomenye _
Fenomenye _ Mohon Tunggu... -

fenomenye is me

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pokoknya Gue yang Paling Update!

28 Maret 2013   10:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:05 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13644416901451702548

[caption id="attachment_244629" align="aligncenter" width="512" caption="graphic by @fenomenye"][/caption] Copy paste rupanya tak hanya terjadi di ranah tulis menulis. Omongan orang terkadang asal njeplak saja bercerita tentang suatu informasi yang ironisnya tak jelas dari mana sumbernya. Kelakuan beginilah yang bisa berakibat gosip, kasak-kusuk bahkan fitnah yang lebih kejam daripada membunuh kecoa. Memang sih saat kita sedang asyik ngobrol berbagai tema dengan kawan atau kerabat, tidak ada aturan khusus yang mewajibkan si pencerita untuk menyebutkan sumber. “Eh, menurut koran Kompas yang terbit hari Rabu, 27 Maret 2013 halaman dua yang ditulis oleh wartawan Anu, gubernur DKI Jokowi suka blusukan ke warteg kalau laper lho.” Yups, jelas aneh dan nggak enak didengar jika obrolan kok terlalu lengkap menyebutkan sumber informasi. Kan lebih enak kalau begini: “Eh, aku baca Kompas kemarin ada berita Jokowi blusukan ke warteg lho.” Ah, tapi sebenarnya nggak terlalu penting-penting amat cara ngobrol seperti itu. Yang bakal saya bahas di sini adalah kelakuan orang yang sok tahu dan paling tahu segalanya. Jika dikasih tahu suatu informasi baru, ia tidak mau merasa kalah dan selalu menimpalinya dengan hal lainnya yang nggak nyambung. Tapi diam-diam informasi baru itu dia simpan dan kemudian dia bagikan lagi sebagai cerita yang seolah-olah baru dia yang tahu. Sebut saja namanya Kumbang, orangnya lebih senior daripada saya, maka saya pun memanggilnya dengan sebutan “pak”. Beda dengan saya yang masih berkategori “mas”. Suatu hari saat kami ngobrol nggak jelas, saya menceritakan padanya tentang sebuah pembangunan taman kota yang sering kami lewati. “Pak, kemarin saya baca koran, katanya taman kota di sebelah sana itu mau dipasang free hot spot. Wah, enak banget ya ntar kita bisa sering-sering nongkrong hotspotan di sana…” kata saya. Pak Kumbang hanya manggut-manggut saja mendengarkan. Seperti biasa, ia seolah tidak begitu menganggap penting informasi baru yang disampaikan rekannya. Maunya ya semua informasi berasal dari mulutnya. Update gitu loh… Dua hari berikutnya, saya kebetulan berbocengan dengannya dan melewati taman kota yang pernah saya ceritakan padanya. Tiba-tiba saja ia mulai ngoceh. “Mas, tau nggak? Ntar di sini bakal dipasang hotspot gratis. Keren ya? Jadi bakal seperti taman-taman di luar negeri gitu, ada internet gratisnya. Kita tinggal bawa laptop saja ke sini sudah bisa online, daripada pergi ke café, mahal…” cerocosnya. Oh em ji… bukannya cerita itu dari saya? Kok bisa-bisanya ia ceritakan kembali ke saya dengan bumbu-bumbu penyedap seperti taman di luar negeri segala. Paspor aja nggak punya kok bisa cerita taman di luar negeri? Terlalu, sungguh terlalu. Makanya saya cuma berdehem “hemm” menyambut ceritanya. Kejadian itu bukan sekali, tetapi berulang kali dan ternyata bukan Pak Kumbang saja yang menderita “syndrome update” ini, beberapa kenalan saya secara tidak sadar juga mengalaminya. “Eh, saya ketemu Bunga kemarin dan dia bilang baru saja putus dari Tawon tuh,” cerita saya pada seorang kawan. Ia pun hanya menanggapi seperlunya. Pada hari lain, tanpa angin tiada badai, tiba-tiba Tawon ngajak bergosip. “Eh, si Bunga udah putus dari Tawon lho, wah ada jomblo cantik nih, lumayan…” ucap Tawon. “Tahu dari mana?” tanya saya, pura-pura amnesia. “Gue gitu loh, kabar beginian pasti tahu lah…”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun