Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Isu Keamanan Anak, Kekerasan Korban Isu, Banjirnya Informasi, dan Kebersamaan Sikap Kita

25 Maret 2017   04:58 Diperbarui: 25 Maret 2017   13:00 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: sayangianak.com

Ada dua isu yang berhembus di media dan menjadi perbincangan masyarakat belakangan ini, pedolifia dan penculikan anak. Kedua isu ini membuka kesadaran dan kecemasan masyarakat bahwa keamanan anak terancam dan mengintai. Isu ini sangat telak, tepat mengenai ketenangan batin orang tua dan masyarakat. Masyarakat diarahkan kesadarannya untuk perhatikan ke keluarga.

Muncullah “kabut” melingkupi orang tua dan masyarakat. Menyelimuti akal sehat. Seperti sihir massal dengan memakai kecanggihan teknologi komunikasi. “Kabut” ini berisi “kecemasan, kekhawatiran, dan kecurigaan” dan masuk ke psikologis orang tua dan masyarakat. Pada tataran psikomotorik (perilaku), berefek muncul tindakan-tindakan protektif yang berlebihan. Dengan dalih melindungi anak, mengorbankan orang-orang tak bersalah. Tindakan protektif ini sudah mengarah ke kekerasan fisik dan verbal.

Kabut ini laksana bara dalam sekam. Sedikit disulut api (diprovokasi), ia segera terbakar. Menghilangkan kewarasan sebagai manusia berakal dan berbudi. Mencurigai, menghakimi, dan menghajar siapa saja. Efek massal dari kabut ini sudah diberitakan di media dan terjadi di lapangan. Orang tak bersalah, jadi korban. Orang tak bersalah, jadi terdzalimi, jadi korban kekerasan. Orang gila, pengemis, pendatang baru tak dikenal, pedagang keliling, gelandangan, jadi korban kekerasan dari isu penculikan anak. Korban ini dikeroyok, dihajar beramai-ramai (www.detik.com, 24/03/17).

Gambaran di atas merupakan yang sempat terberitakan. Mewakili apa yang telah terjadi dalam psikologi dan perilaku masyarakat dengan sihir isu ini. Miris. Demi mengamankan, menenangkan jiwa dan keamanan anak, berujung mengambil tindakan kekerasan dengan mendzalimi dan mengorbankan orang lain.

Belum lagi dengan berita kasus pedolifia. Berita ini juga menjadi kabut dan bara dalam sekam dalam psikologi orang tua dan masyarakat. Sebagaimana banyak kasus kejadian kekerasan seksual anak, terkuak biasa dilakukan oleh orang-orang terdekat, orang-orang sekitar, orang-orang yang dikenal orang tua dan anak. Nah, jika kabut ini tidak terkontrol dengan baik, ia akan berujung merusak hubungan baik dalam kekeluargaan dan kekerabatan. Saudara, paman, kakak, tetangga, teman, guru, menjadi miring semua dilihat.

Jika pandangan miring tanpa menunjukkan ujaran dan perilaku tak ramah, tak bersahabat, tak akrab, syukurlah ini masih menjaga hubungan baik dengan sesama. Tapi jika pandangan miring berubah ke ujaran dan tindakan-tindakan menghina, memvonis, mencurigai, tak ramah, tak bersahabat, misalnya, “Oi, jangan sok-sok akrab dan baik-baik ma anak gue! Jaga jarak! Pergi!” sambil ditatap sinis, lalu ditarik anak menjauh dari orang yang dicurigai. Nah, ini sudah terlalu!

Bukan menyepelekan kedua isu ini. Sikap hati-hati dan waspada tentu butuh pada setiap diri orang tua dan masyarakat. Kejahatan terhadap anak beragam modus dan makin canggih terjadi bahkan sudah terorganisir (seperti komunitas pedofilia Official Candy’s di Facebook yang sudah dibongkar polisi itu). Kejahatan memang ada di sekitar kita. Bukan barang baru sekarang, tapi sudah dari dulu ada bukan? Bahkan terus berpotensi mengintai dan mengancam keamanan anak sampai ke depan dan kapan pun.

Yang perlu ditekankan dan dicamkan, bahwa setiap isu-isu yang meresahkan dan memprihatikan ini, perlu disikapi pertama adalah dengan tenang dan akal sehat. Ya, begitu teorinya. Tapi memang begitu harusnya. Jangan biarkan diri diselimuti oleh kabut kecemasan yang berlebihan sampai lupa diri bagaimana harusnya menjaga dan melindungi anak secara psikis dan fisik. Jika berpikir dan bertindak, hanya mengekspresikan kecemasan dan kecurigaan  tanpa akal budi, maka tercatat beberapa dampak buruk pada anak; anak tak mudah percaya, tak mudah bisa berbaik-baik sama teman, tak bisa bersopan-santun,  tak bisa membawa diri dengan lingkungan sekitar. 

Dua hal yang perlu disadari oleh siapapun di zaman kini: 1) arus informasi yang bebas dan tak terbendung, dan 2) sikap kita. Zaman kini arus informasi begitu bebas, membanjiri, dan menjadi bah tak terbendung. Informasi bebas di media maya bukan bukan berarti benar dan serta-merta dipercaya, bukan pula cuek-bebek (lalu mending nonton gosip artis, sinetron, India, Korea dan entah apalagi).

Selain itu, perlu disadari bahwa arus informasi, selain tak tentu benar, juga informasi-informasi (isu) meski benar, kadang juga punya tujuan lain untuk mengalihkan dan mengaburkan hal-hal penting. Pengalihan dan pengaburan dari soal isu massal seperti ketidakadilan, kemiskinan, penyalahgunaan kekuasaan dan uang, kejahatan yang lebih besar lagi yang merugikan masyarakat banyak, dll. Oknum-oknum politikus, oknum-oknum pemerintah, oknum-oknum penguasa, oknum-oknum pengusaha, dengan memanfaatkan media dan tahu titik lemah psikologi masyarakat, sangat lihai menghembuskan isu apapun untuk mengalihkan dan mengkambinghitamkan. Mengalihkan apa dan dari apa? Mengkambinghitamkan apa dan siapa? Jawaban itu bisa dicari dan diperbincangkan dalam keluarga dengan porsi jangan berlebihan dan tetap menggunakan nalar akal budi sehat. Jangan sampai terjebak asumsi dan prasangka pula tanpa bukti.

Intinya, pada sikap kita, harus cerdas dan tenang menyikapi. Selalu gunakan akal budi yang sehat dan mencerna dulu terhadap informasi (isu) yang datang. Jangan telan mentah-mentah. Jika tak sanggup mencerna sendiri, perbincangkan dengan seseorang yang “waras” berpikir, bukan yang menonjolkan emosi, kecemasan akut, prasangka, apalagi sama orang yang cenderung memaksa  setiap kata-katanya harus didengar dan dipercaya. Perbincangkan ke cerdik-pandai, pemuka agama, tokoh masyarakat. Baiknya, jika memungkinkan, di internal keluarga diperbincangkan masalah, isu yang terjadi di sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun