Sebelum matahari terbit, aku sudah di jalanan. Dengan BMW X6, kulintasi jalanan yang masih sepi dari Serpong Tangerang Selatan, menuju Soekarno-Hatta. Aku harus tiba di bandara paling tidak setengah jam sebelum pukul 06.45. Minggu lalu aku telat chek in. Hangus tiket. Terpaksa kupesan tiket baru, dan ganti pesawat yang menuju kotamu, Sabang. Aku tak bisa menahan diriku untuk ke sana. Dua bulan ini sudah ke empat kalinya setiap Minggu aku ke Sabang. Jangan tanya berapa biaya sudah kukeluarkan. Patah hati membuat diri tak peduli apapun, termasuk uang. Begitu mudah kuhambur tanpa kontrol. Berharap yang kuhamburkan, mengganti yang tercerabut dari hati. Menemukan kembali kebahagiaanku.
Selalu saja dadaku mengosong jika mengingatmu. Betapa menyakitkan patah hati. Pikiran tak karuan, dihantam sakit bertubi-tubi, stress, serasa lumpuh, dan rasa-rasanya hampir gila. Pekerjaanku terbengkalai. Jika bukan perusahaan keluarga, aku sudah ditendang dari jajaran direksi. Dewan direksi menunjuk seorang kerabat mengganti posisiku sementara sampai aku kembali menjadi diriku. Aku hanya diserahkan mengawasi, mondar-mandir di kantor. Di kampus, jam mengajar kuserahkan pada asistenku.
***
Aku transit di Kuala Namu sekitar sejam sebelum diterbangkan kembali oleh Garuda menuju Maimun Saleh. Aku tiba di bandara kotamu sekitar pukul 11.00. Cuaca cerah berangin sepoi mengurangi kabutnya jiwa ini. Aku disambut Mardi, sopir dari jasa rental mobil. Tiga kali sebelumnya, aku juga dijemput dan diantarnya.
Ia membawaku ke sebuah resort tepi pantai di Teluk Sabang. Tak jauh dari Tugu Nol Kilometer Indonesia. Sekitar setengah jam, sekitar 20 km perjalanan kami tempuh. Jalanan kota ini termasuk lengang. Jalannya kadang berkelok, menanjak, dan menurun. Aku banyak diam di mobil.
“Kiban (gimana), Bang? Peu haba (Apa kabar)? Beres semua ‘kan?” Sopir berusia 27 tahun itu mengajakku bicara. Belum menikah. Sama sepertiku belum menikah yang sudah melebihi kepala tiga.
Ia belum menikah karena mahar terlalu tinggi. Perlu ek ue meusaboh Sabang (“naik pohon kelapa seluruh Sabang”). Ia sering mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh. Awalnya aku tak mengerti, lalu ia menjelaskan maksudnya.
“Lelaki harus naik pohon kelapa seluruh Sabang” hanya ungkapan yang mengandung hiperbola, ironi, dan satir. Lelaki harus kerja keras mengumpulkan uang agar bisa membeli mahar. Satirnya adalah pekerjaan yang dimiliki sangat payah untuk mengumpulkan uang buat mahar. Mahar rata-rata minimal harus 10 mayam* (*30 gram emas) di Aceh. Maka, bagi orang yang pekerjaan seadanya, misalnya penjual kelapa, dihiperbolkan lelaki itu harus memetik seluruh kelapa di Sabang agar bisa memenuhi syarat mahar.
Itulah ironi. Aku meresponnya dengan senyum miris. Ironinya tak sesakit yang kualami. Sudah kujalani hubungan dengan seungguh-sungguh. Sudah terisi hatiku dengan kasih sayang dan cinta padamu. Lalu kini harus tercerabut. Apakah menghilangkan cinta semudah mencabut rumput?
Kau tahu, sepanjang hidup aku mengejar puncak karir, melupakan hubungan yang sungguh-sungguh. Wanita hanya selingan hiburan bagiku tanpa merasa kubutuhkan. Menjalin hubungan hanya untuk seks tanpa disertai hati. Begitu mudah kucampakkan wanita ketika sedikit saja menyakitiku atau tak beres di mataku. Tapi tidak denganmu.
Saat aku ke Depok, menuju pelataran minimarket, tempat gerobak usahamu menjual kentang dan ayam goreng, kau tak di tempat. Hanya ada Ais, teman kontrakanmu. Ais tetap keukuh tak memberi alamat kontrakan kalian. Ia sudah berjanji padamu, tak mau mengkhianatimu. Kau sudah tegas melarangku menemuimu di kontrakan.